Tiga Praktisi Bedah UU ITE

| Minggu, 08 Desember 2019 | 01.41 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Lembaga Bantuan Hukum Ormas Bang Japar menggelar diskusi publik bertajuk "UU ITE Dalam Perspektif Filosif, Historis Dan Pratik" di Rumah Aspirasi Anggota DPD RI, Fahira Idris, Jakarta Selatan, Jumat (6/12/2019).

Hadir sebagai narasumber adalah Ketua Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifyadi, Ahli Hukum Pidana Abdul Chair Ramadhan, dan praktisi hukum Aldwin Rahadian. Sementara yang memandu jalannya diskusi adalah Plt Direktur LBH Ormas Bang Japar Novi Manaban. Anggota DPD RI, Fahira Idris menyampaikan sambutan dalam kesempatan itu.

Teguh mengawali pembicarannya dengan membicarakan pengalaman dia menjadi saksi ahli dalam sejumlah kasus Undang-Undang ITE. Menurut dia, dirinya kerap berbeda pendapat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) soal pasal UU ITE yang dijeratkan kepada seseorang.

"Saya 300 kali lebih jadi saksi ahli. Katerangan saya sebagai ahli banyak yang meringankan (terdakwa). Tapi ada juga yang memberatkan," ujar Teguh.

Teguh mengatakan, seseorang yang tidak mengirimkan pesan kepada pribadi orang lain, kendati melalui handphone, ia tak bisa dijerat dengan pasal UU ITE.

"Menjapri tidak dapat dikenakan pasal 28. Dan kalau ada proses manual, itu bukan transmisi," katanya.

Dia lantas mengingatkan agar masyarakat lebih jeli, teliti, dan hati-hati dalam memainkan media sosial. Karena, jika misalnya, ada salah seorang yang memposting sesuatu di media sosial, meskipun menggunakan akun anonim, dia pasti ketahuan jejak digitalnya. Misalnya, jejak digital diketahui dari IP, call data record, operator, dan lain sebagainya.

"Khusus medsos, jejak digitalnya ada mesin yang disebut pengawet masa lalu. Kalau kita fitnah orang (di medsos) dan di hapus, tapi dengan mesin tadi bisa ketahuan. Jadi jejak digital itu selalu ada yang nyangkut," tukas dia.

"Jejak digital dari sisi perangkat, misalnya ngambil foto, itu bisa dibangkitkan dengan sofwer-sofwer. Sofwer yang gratisan juga bisa," katanya.

Selain itu, Teguh juga mengingatkan masyarakat agar tidak mudah menyimpan foto dan video negatif di hendphone. Sebab, kata dia, foto dan video yang disimpan di Hp bisa dipidanakan.

"Betapa mudah sekali bukti elektronik untuk dipidana. Jangan pernah menyimpan apalagi membiat rekaman video (pornografi di HP) itu. Secinta apapun kita sama pasangan, jangan pernah membuat dan menyinpan," katanya.

Teguh lantas meminta agar aparat penegak hukum tidak mudah menjerat seseorang dengan pasal UU ITE. Hal yang terbaik didahulukan oleh penegak hukum menurut Teguh, adalah memediasi.

"Penyelesaian pidana itu bisa mediasi. Itu harus didahulukan pendekatan mediasi," katanya.

Sementara itu, Ahli Hukum Pidana, Abdul Chair Ramadhan, mengatakan penegakan hukum bukan hanya kepastian dan keadilan tapi juga kemanfaatan. Dia mengatakan penerapan UU ITE terkadang mengabaikan keadilan, ketidakpastian. Sehingga diperlukan revolusi penegakan hukum, mulai dari presiden sampai DPR.

Dalam teori progresif, hukum kalau tidak adil, itu bukan hukum. Kalau keadilan dan kepastian dibentrokkan, pasti yang dipilih keadilan," kata Chair.

Adapun Aldwin Rahadian mengatakan bahwa produk hukum di Indonesia tak lepas dari politik kerena produk hukum di negara ini lahir dari konfigurasi politik.

"Saya kadang-kadang bingung kerena pada akhirnya praktik di lapangan ini akan selalu ada benturan. Tidak an sich nomatif. Kita berjibaku, berdiskusi, dalam soal hukum. Mesti ada variable yang selalu mengirinya," papar Aldwin.

Aldwin kemudian menambahkan, perlu ada penyeragaman, baik ketika UU ITE direvisi maupun tidak, jika ingin dipisahkan produk hukum dengan politik.

"Ini yang paling penting. Hanya mekanismenya seperti apa, ini yang harus kita formulasikan. Gagasan dan masukan dari masyarakat harus diformulasikan karena begini kadang-kadang di pasal-pasal UU ITE yang terakhir perubahan UU No. 19, itu menjadi multi interpretasi dari berbagai sudut pandang penegak hukum," tandas Aldwin.

"Misalnya, 1 pasal menurut si Jaksa ini harus masuk (Pidana). Menurut pengacara enggak bisa masuk unsur (pidana), ahli bilang enggak bisa juga. Terus kemudian nanti lari ke pemutus (hakim). Yang ditingkat pertama kemudian lepas, masuk lagi tingkat banding atau kasasi masuk juga. sehingga inilah dunia hukum kita," katanya.

Menurut Aldwin, jika UU ITE nantinya hendak direvisi maka yang diperlukan adalah pembahasan konfrenhensif sehingga UU ITE ini penuh kepastian dan tidak menimbulkan berbagai persepsi di banyak kalangan, terutama di kalangan jaksa, hakim dan advokat. Dengan demikian, ada keseragaman antara pendapat penegak hukum, ahli dan advokat.

"Kalau di Jepang itu penegak hukum, jaksa dan hakim terus kemudian advokat, itu berawal dari sekolah yang sama dulu. kayak AKABRI ini. Samakan dulu ditingkat satu, selanjutnya dia memilih kekhususan, sehingga cara pandangnya kurang lebih sama. Di kita kan susah. Advokat dengan ilmunya sendiri, sementata praktik di pengadilan, apalagi di pidana, semuanya berpedoman pada Peraturan Kapolri (Perkap) gitu, ya. Jadi kadang-kadang begitulah dunia hukum kita kenyataannya," tandas Aldwin. (BSI)
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI