Hentikan Eskalasi Tata Kelola Gagal

| Rabu, 08 Januari 2020 | 01.04 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Pembangunan di Indonesia mirip dansa dan lagu poco-poco. Maju mundur. Ganti pemerintah ganti kebijakan. Demikian media pernah memberitakan pandangan Megawati, salah satu pimpinan partai. Konteks utamanya adalah Indonesia perlu punya konsep pembangunan nasional jangka panjang.
Pesan yang disampaikan 2016 itu makin penting diingat saat ini. Ketika pemerintah getol membuat terobosan pembangunan. Bahkan, ide-ide yang diluar kelaziman muncul ke permukaan. Menjadi wacana publik. Diantaranya adalah dalam hal tata ruang dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

Bukan hanya penting, jika tindak diterjemahkan secara tepat, pesan itu sekaligus bisa disertai oleh bahaya. Kita harus mencegah kejadian bahaya-nya, sambil terus mendukung usaha mewujudkan nilai penting-nya.

Apa bahayanya? Ketika konsep pembangunan nasional jangka panjang mengabaikan spirit pembangunan itu sendiri. Spirit pembangunan berkelanjutan yang mengharmonikan orientasi pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan.

Banjir Jabodetabek awal tahun baru 2020 ini harusnya menjadi pelajaran. Pelajaran penting. Bukan untuk mencari siapa yang salah. Tetapi penting untuk mengoreksi dan menghentikan penyebarluasan cara pandang dan tata kelola pembangunan  yang terbukti gagal.

Praktek-praktek yang mengorbankan fungsi lingkungan sebagai penyokong kehidupan sosial dan ekonomi, demi alasan mendukung produksi barang dan jasa, harus dievaluasi dan diluruskan. Misalnya, kawasan resapan dan penampungan air yang berubah menjadi perumahan mewah adalah produk tata kelola yang gagal itu.

Kebijakan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam harus didasarkan pada keadaan obyektif. Sesuai dengan dampak dan urgensinya. Kebijakan tidak boleh didorong oleh keinginan yg telah ditetapkan di awal, apalagi oleh kepentingan pemilik modal, kemudian diikuti dengan penerbitan izin formal.

Banjir Jabodetabek diketahui  menyebabkan korban dan kerusakan sosial ekonomi yang sangat besar. Tetapi sebenarnya ia bukanlah sebab paling awal. Ia adalah akibat. Banjir adalah akibat dari tata kelola pembangunan dan daya dukung lingkungan.

Janganlah tatakelola yg gagal diperluas eksesif ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Baik dalam hal tata kota dan wilayah, namun juga dalam bidang pertambangan dan industri pada umumnya.

Kalau Indonesia belum peduli dengan pengelolan lingkungan yang nyata ada di depan mata, kalau belum mencegah kerusakan dan pencemaran yang berdampak pada warga negara, namun Indonesia sudah berbicara emisi karbon yang merupakan persoalan dunia global, itu perumpamaannya seperti "orang yg menggunakan parfum tapi tidak mau mandi". Bahkan bisa lebih dari itu: "orang yang bersolek cantik sambil siap-siap bunuh diri"

Kenapa demikian? Menjaga daya dukung lingkungan sejatinya adalah kepentingan sosial. Melindungi manusia.

Sedangkan pembangunan ekonomi adalah untuk kesejahteraan warga negara. Seperti pesan lagu Indonesia Raya: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.

Menjaga daya dukung lingkungan adalah tugas legal. Itu pesan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahkan ia juga amanat konstitusional. Bahwa, setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Itulah sebabnya mencegah kerusakan lingkungan adalah kewajiban melekat bagi negara.

Pemerintahlah yang terikat untuk melaksanakannya.

Adapun keterlibatan Indonesia dalam mencegah emisi karbon, itu adalah hak inisiatif. Berpartisipasi dan ikut serta dalam pergaulan dunia dan merawat bumi bersama. Ini peran yang bagus, luar biasa.
Ketika Indonesia sudah memberikan prioritas pada hal yang sifatnya inisiatif dan sukarela, saat itu Indonesia harus sudah bisa memberi prioritas yang lebih besar pada kewajiban yang mengikat secara sosial, legal dan konstitusional.

Lebih dari itu, menjaga daya dukung lingkungan adalah salah satu bentuk dari usaha melindungi tumpah darah Indonesia. Pembangunan ekonomi yang didorong oleh kekuatan modal dan yang mensimplifikasi dampak lingkungan akan menjadi beban sosial ekonomi warga negara. Pada giliriannya itu akan menjadi beban negara dan menghambat tercapainya tujuan pembangunan itu sendiri.

Kasus tumpahan minyak dari kegiatan migas terjadi silih berganti. Penyelesaian buntut penutupan tambang yang menyertai konflik pembuangan limbah tailing ke laut  baru saja selesai. Alih fungsi lahan, konflik reklamasi dan banjir tiada henti. Aneka problem sosial ekonomi menyertai upaya pertumbuhan ekonomi. Itulah contoh-contoh beban pembangunan yang  tersembunyi dan berbiaya sosial ekonomi yang tinggi.

Mari kita ingat dan belajar, laporan World Bank yang mengangkat pertobatan ekonomi di Cina. Pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi dan mengabaikan daya dukung lingkungan harus diperlambat akibat beban pencemaran, problem kesehatan dan kesenjangan sosial. Ditetapkan reorientasi arah pembangunan nasionalnya.

Sebelum terlambat, senyampang masih bisa memilih, mari kita tempuh jalan pembangunan yang seimbang. Membangun manusia seutuhnya. Pembangunan berkelanjutan yang mengharmonikan tujuan sosial, lingkungan dan ekonomi.
Pesan ini juga untuk momentum saat ini, ketika pemerintah dan DPR bersiap membahas Omnibus Law. Dalam upaya cipta lapangan kerja dan pemberdayaan UMKM, kita harus tetap ingat, perumpamaannya adalah minum obat ada dosisnya. Kalau berlebihan, obat berubah menjadi racun.

Marilah kita cegah bersama, UU baru atau produk Omnibus Law yang dimaksudkan untuk mempercepat  pembangunan, kita hindarkan dari konten tata kelola yang justru menghadirkan kerusakan dalam jangka panjang. Marilah anak bangsa gandeng tangan, kita koreksi dan cegah eskalasi tata kelola gagal dalam pembangunan.

Oleh: Prof Mukhtasor

Guru Besar ITS
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI