Anies Baswedan Sang Pahlawan Orang Tertindas

| Senin, 27 April 2020 | 14.17 WIB

Bagikan:
BernasIndonesia.com - Nathaniel Kriehn, dari Leeds Beckett University, melemparkan pertanyaan “What is a hero?” dalam situs researchgate. Net. Situs  yang mendapat tanggapan 27 intelektual, dari 27 kampus berbagai negara di dunia.

Beberapa hal dalam setengah dialog tentang pahlawan di situ menunjukkan beberapa hal penting untuk disimak tentang siapa itu pahlawan. Pertama, pahlawan itu adalah “pahala wan”, yang harus dibedakan dengan idol maupun “cultural icon”. Pahala wan adalah orang baik atau berbuat baik atau “altruism” dengan mengorbankan kepentingan dirinya demi masyarakat.

Kedua, pengertian ini akan mengalami distorsi dalam relasi terhadap perbedaan kultur, tempat dan waktu. Di Jerman, dulu misalnya pahlawan itu hanya dikaitkan dengan “warrior”, alias pahlawan dalam perang. Ketiga, popular culture saat ini dapat menciptakan pahlawan dalam “fictional hero” yang ukurannya kadang dapat melebihi standar manusia biasa. Contoh Superman, maupun membalikkan persepsi hero (pahlawan),  seperti Joker sebagai pahlawan kaum miskin kota melawan Batman.
Dalam konteks Indonesia dan Hari Pahlawan saat ini, pahlawan yang kita definisikan adalah ala klasik. Yang merujuk pada pengorbanan seseorang untuk membela masyarakatnya, khsusunya rakyat kecil. Merujuk pada itu Sukarno dan para “founding fathers” adalah pahlawan sejati.

Apakah ada pahlawan seperti yang kita bicarakan di atas? Setelah 74 tahun Indonesia merdeka, memang kita kesulitan mencari pahlawan. Pahlawan yang disodorkan dan dibentuk persepsinya oleh media bervariasi dari “fake hero”, fictional hero, idol dan cultural icon.”

Fake hero adalah pahlawan palsu. Pahlawan palsu biasanya menjual sisi dirinya yang seolah-olah pro rakyat miskin. Hidup menderita, dengan pakaian dari kemeja sampai sepatu super murah. Berjanji berkerja untuk rakyat miskin, dan lain-lain. Sedangkan Fictional Hero atau Pahlawan Fiksi adalah ala komik superhero. Semua sisi hidupnya tidak ada salah.

Sementara itu idol adalah simbol figur pujaan kontestasi, yang diinisiasi media mainstream. Sedangkan “cultural icon” menunjukkan seseorang dan sesuatu yang merepresentasikan sebuah budaya atau kebudayaan tersebut. Misalnya, jika ada elit nasional memakai blankon dan kostum Jawa, seolah2 dialah mewakili seluruh perasaan atau simbol  Jawa.
Bagaimana kita mengetahui seseorang itu hanya pahlawan palsu. Dia bukanla dari pahlawan yang sebenarnya? Penialian tentang hal ini hanya bisa dilihat dari konsistensi janji pemimpin tersebut, baik lisan maupun verbal terhadap realisasinya.

Jika pemimpin-pemimpin tersebut berjanji membuat pemerintahan yang pro rakyat miskin. Tetapi yang memerintah mayoritas adalah orang-rang kaya, alais para taipan alias para konglomerat, maka bisa dipastikan bahwa orang miskin akan semakin miskin nantinya.

Pahlawan palsu juga dapat didekati dengan persepsi baru terhadap sebuah konsep. Christopher Columbus, penemu Amerika abad ke 15, setiap tahun diperingati sebagai hero yang membawa keberkahan bagi orang2 eropa, sehingga bisa mendiami Amerika. Namun, saat ini persepsi tentang dia berubah karena perbuatan Columbus di masa lalu bukan dianggap kejahatan Kini dianggap kejahatan.

Perbuatan dia itu, sebagaimana di ulas dalam history. com sebagai berikut. Pertama, menjadikan orang-rang asli Amerika (Indian) sebagai budak dengan kejam. Kedua, meng-Kristenkan mereka secara pakasa. Ketiga, membawa penyakit baru ke orang-orang Indian (the introduction of a host of new diseases that would have dramatic long – term effects on native people in the Americas).

Karena telah berubahnya persepsi tentang perbudakan tersebut, maka pada beberapa negara bagian di Amerika seperti South Dakota, Florida, Hawaii, Vermont, New Mexico dan Maine, sekarang ini Columbus sudah dianggap sebagai penjahat.

Dalam kecanggihan big data saat ini, mengenali seseorang dapat dilakukan dengan cepat. Orang-rang elit berbohong dapat diketahui karena big data akan memperlihatkan siapa mereka. Seorang pemilik korporasi, atau perjalanan hidupnya mayoritas dalam perusahaan, misalnya, pastilah menjalani prinsip kehidupan ekonomi “dengan modal sekecil-kecilnya untuk dapat untung sebesar-besarnya”.

Pemilik korporasi seperti ini dipastikan “mendahulukan untung duluan untuk kelompok bisnisnya. Baru setelah itu sisanya dibagi-bagikan kepada orang lain sebagai CSR”. Tarakhir “market place” adalah satu-satunya ruang (dominan) untuk kehidupan di dunia.

Jika orang-orang bisnis misalnya, katanya bekerja untuk kepentingan rakyat, itu sulit terjadi. Bukan tidak mungkin, hampir mustahil. Sehingga jika ada pejabat publik dari kalangan bisnis ingin jadi pahlawan, maka media atau kelompok-kelompok PR (propanda) harus bekerja ekstra keras. Menceritakan sisi tertentu terkait keuntungan yang diperoleh rakyat atas kehadiran dirinya. Ini adalah kerja pencitraan.

Ketika mayoritas elit berkuasa di Indonesia adalah bagian oligarki kapitalis alias orang kaya, maka  berharap adanya pahlawan untuk rakyat, jauh panggang dari api. Oligarki kapitalis ini bukan sekedar pemodal dibelakang layar, seperti satu dekade lalu, tapi sekarang tampil langsung menjadi penguasa.

Lalu bagaimana rakyat miskin bisa mempunyai pahlawannya? Untuk itulah kita secara jeli melihat pemimpin yang terhubung dengan kepentingan rakyat. Dalam tulisan ini, kita kaitkan Anies Baswedan, yang sekarang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Mempertimbangkan Anies karena dua hal. Pertama, skala kekuasaannya. Kedua, karirnya ke depan. Skala kekuasaannya yang tunggal, melingkupi penduduk dua kali New Zealand atau Denmark secara solid, tidak seperti provinsi-provinsi lain.

Selain itu, skala ekonomi yang dikendalikan, membuat ukuran kekuasan Anies sangat besar. Sementara itu karir Anies untuk menjadi presiden ke depan sangat terbuka luas. Berbagai survei menunjukkan Anies jauh di atas Prabowo untuk capres 2024 mendatang.

Apakah Anies bisa disebut pahlawan? atau sekedar penguasa yang baik? Pahlawan adalah pilihan politik yang mengandung resiko. Bisa dinista, dihina, maupun diruntuhkan. Sedangkan penguasa yang baik, cukup dengan menjalankan agenda-agenda standar dan “governance”.

Ridwan Saidi, tokoh budayawan dan Betawi yang sangat senior, beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa Anies sedang berjuang dalam politik geografis-demografis. Penghentian reklamasi Jakarta, menurutnya, dilakukan Anies agar keseimbangan penguasaan teluk Jakarta dan komposisi penduduk yang mendiami daerah itu seimbang antara Pribumi dan Non Pribumi.

Menurut Ridwan, politik seperti ini sangat langka. Hanya bisa ditemukan pada sosok yang dalam nilai perjuangannya bagi bangsa kita. Jadi, dari sisi ini Anies bukan sekedar ingin berkuasa. Tentu saja konsep politik Anies juga banyak yang mendasarkan kebijakannnya pada pilihan ideologis.

Pilihan ideologis maksudnya adalah mengutamakan orang-orang miskin. Contohnya, kebijakan Anies dalam merestorasi kampung bersejarah yang dihancurkan di masa Gubernur lalu, seperti Kampung Aquarium. Anies bukan saja akan merestorasi tempat bersejarah, seperti makam bersejarah Luar Batang, tapi juga perkampungan penduduknya.

Secara keseluruhan, konsep Anies diibaratkan “elevator” dalam menjelaskan mobilisasi vertikal masyarakat. Orang-orang kaya tidak berkurang kekayaannya. Tetap dapat naik menjadi kaya. Namun orang-orang miskin juga harus ikut menjadi kaya.

Membangun infrastruktur, misalnya dapat menguntungkan kedua kelompok, kaya dan miskin. Namun, membagi porsi infrastruktur agar menjadi alat produksi orang miskin, seperti memberdayakan bagian trotoar buat PKL, secara “manageable”, bukanlah konsep biasa. Melainkan sebuah konsep yang berbasis pada ideologis. Sebuah pemihakan kepada orang-orang kecil.

Menurut Jeffrey Sach, pakar kemiskinan dunia. Memberi kaya orang miskin harus dilakukan dengan dua hal. Pertama “memberi pancing”. Kedua, memberi juga ikannya. Anies sebagaimana Sach memberi pancing atau kail ketika membuka akses rakyat miskin pada aset atau capital.

Pada saat yang bersamaa, Anies juga sekaligus memberi “ikan” nya melalui berbagai program subsidi. Pikiran Jeffrey Sach ini, di Indonesia, hanya bisa dijalankan oleh Anies Baswedan. Kenapa? karena dia tidak menjadi bagian oligarki kapitalis yang mencengkram semua lini kekuasaan saat ini.

Penutup

Pahlawan adalah pahala-wan. Manusia yang sejatinya ketika berkuasa bekerja semata-mata hanya untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan cukong. Dan Anies Baswedan sudah dua tahun bergerak mendorong keseimbangan ibukota. Agar orang kaya tidak mengontrol nasib rakyat Jakarta. Untuk agenda itu, Anies harus berhadapan dengan kekuatan oligarki kapitalis dan kaki tangannya yang selalu mencari celah menghancurkan karirnya.

Namun, seperti tetesan air yang terus menerus menghancurkan batu cadas. Agenda Anies membangun Jakarta sekaligus kota dan rakyatnya, terus berhasil mendorong transformasi sosial yang baik. Orang-orang miskin semakin termanjakan dan fungsi sosial negara semakin dalam.

Untuk itulah, kita yakin bahwa Anies Baswedan, meski para musuh mencari berbagai kesalahan. Namun tetap saja, sejatinya Anies adalah seorang pahlawan, khususnya pahlawan bagi kaum tertindas. Kaum marginal. Kaum miskin Jakarta.

Oleh: Dr. Syahganda  Nainggolan

Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI