Paparan Seknas FITRA Tentang Resiko Anggaran 405 Triliun untuk Penanganan Virus Corona

| Rabu, 08 April 2020 | 10.17 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) memamaparkan sejumlah resiko terkait anggaran dana penanganan pandemi wabah virus corona yang dikucurkan pemerintah.

Sekjend Fitra, Misbah Hasan, mengatakan anggaran penanganan wabah covid-19 Rp405 triliun tersebut memang positif. Tapi, kata dia, ada tantangan yang tidak mudah, meskipun anggaran dana untuk melawan pandemi covid-19 ini layak diapresiasi. Resiko pertama, kata Misbah, terkait penyediaan besaran anggaran tersebut karena saat ini realisasi Pendapatan Negara baru mencapai 216,6 T (9,7% dari target APBN).

"Ini artinya, kas negara sedang minim). Belum lagi per Maret 2020 Belanja Negara sudah mencapai Rp 279,4 Triliun," papar Misbah dalam keterangaan tertulisnya, Rabu (1/4/2020)

Resiko yang kedua, menurut Misbah, pemerintah mengandalkan SiLPA APBN tahun lalu sebesar Rp 46,4 Triliun. Hal ini, tukas Misbah, jelas tidak mencukupi. Apalagi kondisi perekonomian yang terkoreksi saat ini, misalnya, dari aspek penerimaan perpajakan, PNBP, dan lain-lain. Dia mengatakan memerintah musti mencari pendanaan dari sumber lain dan utang, disebutkan Misnah, sepertinya akan menjadi alternatif pertama.

"Hal ini terlihat dari perubahan defisit anggaran yang dibuka di atas 3%. Ini yang harus dikontrol juga. Jangan sampai kebijakan utang akan menimbulkan masalah di tahun-tahun berikutnya," katanya.

Kemudian resiko yang ketiga dengan besaran anggaran yg disediakan, menurut Misbah, pasti rentan penyimpangan. Untuk itu, Misbah menyarankan pemerintah harus menyediakan media informasi pelaksanaan anggaran yang bisa dipantau oleh masyarakat setiap saat. Dan organisasi Masyarakat Sipil juga bisa melakukan audit sosial terhadap pelaksanaan penanganan covid-19 ini nantinya.

"Peran lembaga pengawas sangat krusial dalam monitoring dan audit pelaksanaan penanganan covid-19. Audit yang dilakukan oleh APIP, BPK, dan KPK harus dipublikasikan kepada masyarakat," tukasnya.

Selain itu, Misbah menambahkan bahwa nformasi terkait proses dan mekanisme realokasi anggaran juga penting disampaikan kepada publik. Uangnya dari mana, berapa besar, dan digunakan untuk apa.

"Jadi informasi yang disampaikan oleh Gugus Tugas Covid-19 dan K/L pendukung tidak hanya jumlah korban, tapi penggunaan anggaran hingga saat ini berapa dan untuk apa saja," katanya.

Sementara resiko yang keempat menyangkut kondisi fiskal pemerintahh daerah yang tidak jauh berbeda dengan pemerintah pusat. Apalagi daerah masih sangat tergantung fiscalnya dari transfer pusat, DAU, DAK, DBH, Dana Desa. Proporsinya rata-rata hingga 70-80% untuk Kab/Kota seluruh Indonesia. Kalau hanya mengandalkan PAD, Miskab yakin daerah tidak mampu.

"Untuk itu, realokasi Belanja Barang/Jasa dan Belanja Modal sangat penting, misalnya, Jasa Perkantoran, ATK, Belanja Perjalanan Dinas, Makan Minum, dan program-program yang tidak prioritas musti dipangkas untuk penanganan covid-19," tukasnya.

Hitungan FITRA, Misbah mengatakan berdasarkan APBD Realisasi 2018 Provinsi/Kab/Kota seluruh Indonesia, kalau Belanja Barang/Jasa-nya direalokasi sebesar 30%, akan tersedia anggaran sebesar Rp 79,2 triliun, sedangkan untuk realokasi Belanja Modal hingga Rp 60,9 triliun.

"Kelima, Intinya, transparansi alokasi dan realokasi anggaran penanganan covid-19 sangat penting, demikian juga akuntabilitas penggunaannya," katanya.

Jokowi sebelumnya mengumumkan total tambahan dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan covid-19 sebesar 405 trilun. Rinciannya yang disebutkan Jokowi akan dialokan ke empat hal. Seperti Rp 75 triliun untuk belanja bidang kesehatan, Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp.70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat, dan Rp 150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. (BSI)
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI