Langgam Para Ulama

| Senin, 23 November 2020 | 09.09 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Akhir-akhir ini muncul kritik pedas, bahkan ada yang sampai menghujat cara HRS dalam berceramah di depan jamaahnya. Sudah tentu yang melakukan itu, tidak suka dengan cara HRS berceramah. Persoalan suka atau tidak suka, ini bukan urusan benar salah. Ini urusan rasa, urusan seni. 


Langgam para ulama dalam berdakwah memang berbeda-beda. Ulama yang memiliki latar belakang akademis, langgamnya tentu di forum-forum seminar, FGD, dan seterusnya. Dalam menyampaikan ceramah tentu mereka menyesuaikan tempat, dan audiens yang mereka hadapi. Sangat jarang mereka memerlukan intonasi suara yang besar, menggelegar, karena tempatnya diruang tertutup, dengan jumlah peserta terbatas, dan secara intelektual biasanya spesifik. Berbeda dengan ulama yang menggunakan langgam terbuka, dalam bentuk istighosah, dengan peserta yang jumlahnya bisa ribuan orang. Seringkali mereka harus berteriak agar suara mereka terdengar oleh semua audiens, apalagi jika tidak didukung sound system yang baik. Ada pula ulama yang dalam berceramah hanya dihadiri sedikit orang, terbatas di lakukan secara tersembunyi, seperti para ulama tarekat, mereka tidak memerlukan sound system, dan tidak perlu teriak untuk memastikan audiensnya mendengar pembicaraannya.


Seni dalam menyampaikan dakwah, memang berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksa seseorang menyukai selera musik kita. Kalau anda suka lagu keroncong, atau dangdut, anda tidak bisa protes jika orang putar lagu jazz atau rock karena selera mereka adalah corak irama jazz atau rock. 


Namun dalam hal substansi yang disampaikan, tidak banyak perbedaan antara ulama yang satu dengan ulama yang lain, apalagi jika ulama itu dari Mazhab yang sama.


Pengaruh pemikiran dalam perubahan sosial memang seringkali menakutkan bagi rezim pemerintahan yang tahu bahwa banyak ketidakberesan yang belum mampu mereka benahi. Seringkali kemarahan sebenarnya bukan karena adanya orang yang berceramah tentang program yang gagal mereka kerjakan. Kemarahan biasanya dan utamanya karena mereka tidak menemukan solusi atas persoalan, maka mereka mencari alibi untuk disalahkan. Kritik yang disampaikan atas kegagalan seringkali terdengar seperti musik yang mengganggu karena tidak sesuai selera. 


Kenapa tidak mempersoalkan ulama yang lain, karena ulama yang lain irama musiknya sesuai selera. Mari jaga persatuan, mari dukung pemerintah, mari jauhi kerumunan, dan seterusnya sesuai selera yang diinginkan disaat pemerintah sedang kebingungan mengatasi Covid19. 


Masalahnya adalah, jika ada musik yang anda tidak suka, ada tulisan di spanduk yang anda tidak suka, ada ulama yang menyampaikan kebenaran tidak sesuai selera anda, haruskah anda "membunuh" ulama itu? Haruskah anda membawa panser menurunkan baliho itu? 


Saya kira yang harus anda lakukan, adalah beristigfhar, dekatkan diri kepada Allah semoga Allah berikan solusi atas masalah yang tidak kalian selesaikan. Bukan marah kepada ulama, dan melakukan hal-hal yang tampak bodoh.


Oleh: Hasanuddin

Penulis tinggal di Depok, Jawa Barat

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI