Pembubaran FPI Dinilai Blunder Pemerintah

| Kamis, 31 Desember 2020 | 13.11 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Pemerhati sosial-politik Universitas Jayabaya Muhammad Rozi menilai pembubaran Front Pembela Islam (FPI) dan pelarangan aktivitasnya, bukan jalan terbaik. Terutama jika pemerintah mencari solusi jangka panjang yang komprehensif.


"Apabila keberadaan, pemikiran dan aktivitas FPI meresahkan serta merongrong pemerintahan atau negara, seharusnya upaya perlawanan pemerintah dengan ideologi juga. Jadi ideologi dilawan dengan ideologi, itu baru tuntas. Kalau nanti dia ganti nama kan gampang saja. Kekuatan mereka juga semakin akumulatif karena sentimen ke pemerintah kian meningkat," ujar Rozi, dalam keterangannya yang diterima Kamis (31/12/2020). 


Meski begitu perlawanan menggunakan ideologi tandingan, yang ia maksud, bukanlah ideologi dalam makna konvensional. Seperti halnya membenturkan kelompok nasionalis atau yang mengusung Pancasila dan sebagainya, dengan kelompok yang mengusung konsep teologi. 


"Sebab itu cara-cara kuno yang terbukti gagal jika 'melawan' agama sebagai doktrin," ucap Tasya. 


"Berapa banyak lembaga yang hadir dengan semangat nasionalisme, Pancasilaisme atau bahkan liberalisme dan sekularisme, yang ada karena didukung pemerintah maupun tidak, yang sukses menjalankan perannya? Berapa banyak anggaran mereka jika dibandingkan FPI? Apakah efektif keberadaan mereka?" imbuhnya. 


Menurut Tasya, pemerintah seharusnya bisa belajar kepada negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), atau bahkan negeri tetangga seperti Singapura. Dimana masyarakat khususnya anak-anak muda mereka, selama 7x24 jam disibukkan dengan berinovasi, menciptakan kreativitas dan bekerja menghasilkan pundi-pundi. 


"Inilah 'ideologi baru' yang bisa dipakai melawan konsep ideologi konvensional. Tidak ada lagi yang bisa membendung bagaimana generasi muda dunia sibuk menciptakan inovasi, mengaktualisasikan dirinya melalui media sosial, game dan YouTube hingga akhirnya menghasilkan uang. Di Singapura, anak muda di sana berlomba-lomba menjadi eksekutif, pengusaha sukses, inovator. Jangankan bergabung dengan organisasi keagamaan, masuk militer saja mereka ogah," papar Rozi.


Pemerintah, kata dia, juga harus lebih banyak memberikan kesempatan dan panggung bagi orang-orang seperti Nadiem Makarim. Sebab, keberadaannya terbukti ampuh membuat sibuk masyarakat mencari penghasilan dengan mudah dan sebesar-besarnya. 


"Sebelum ada ojek online saja pengangguran sudah banyak, apalagi jika tidak. Saya nggak bisa bayangkan Indonesia dilanda pandemi tanpa mereka, makin meningkat angka kriminalitas mungkin, terang-terangan pelaku kejahatan. Makin banyak kaum oposan yang destruktif di dunia maya dan nyata," jelas dia. 


Upaya pemerintah membuat sibuk masyarakat dengan hal-hal positif, terlebih generasi muda, saat ini dirasa minim. Hal itu dibuktikan dengan kian banyaknya pemuda-pemudi yang turun ke jalan menentang kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan. 


Padahal, kata Rozi, belum tentu keseluruhan dari mereka memahami isu atau tuntutan aksi. Belum tentu pula mereka tak mendukung Jokowi di Pilpres 2014 maupun 2019, yang gaya dan rencana kebijakannya cenderung pro kaum muda, para milenial. 


"Pelajar saja yang belum tentu memahami isu saja ikut demo. Ini salah satunya terjadi karena minimnya wadah aktualisasi mereka. 

Sebab kita lihat sendiri semakin banyak anak muda, remaja yang bergabung dengan laskar FPI misalnya, majelis-majelis pengajian," tuturnya. 


"Saya pribadi tak melihat bergabungnya generasi muda ke FPI sebagai suatu masalah. Karena memang tak banyak pilihan. Tapi jika itu dirasa pemerintah sebuah perkara, ya dituntaskan," lanjut Rozi. 


Rozi mengatakan, apabila persoalan ini antisipasinya tak dipersiapkan sejak dini secara efektif dan holistik, jangan harap tahun 2030 menjadi puncak bonus demografi. Tapi justru sebaliknya menjadi periode bencana demografi RI. 


Dimana akan lebih banyak anak muda yang bergabung dengan organisasi bernuansa spiritualisme. 


"Karena dengan begitu, perut mereka yang lapar bisa 'kenyang'. Mereka yang tak punya pekerjaan dan uang, hatinya bisa tetap tenang berkat doktrin-doktrin yang ada. Kalau organisasi yang mereka ikuti cinta damai dan membangun bangsa tak masalah, kalau sebaliknya bagaimana?" kata Rozi. 


"Perlu diingat, paling mudah menggerakkan manusia menggunakan dogma-dogma (doktrin agama) baik untuk mendukung pemerintah maupun sebaliknya. Dulu sewaktu pemerintahan SBY, dogma tersebut dipakai oleh ulama kondang asal Bandung untuk mendukung pemerintah. Sekarang? Bisa dinilai sendiri," katanya.

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI