Menuju Perang Dunia Ketiga

| Senin, 05 April 2021 | 08.44 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Perang dunia tentu tidak dikehendaki oleh komunitas internasional, tapi melihat gelagat dari ambisi para pemimpin negara-negara maju, bisa jadi perang dunia ketiga menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. 


Kerakusan Komunis China

Faktor pemicu perang dunia ketiga terutama bisa datang dari ambisi Komunis China untuk menguasai Laut Cina Selatan (LCS), sebagai bagian dari rencana besar dari program OBOR (one belt one road) Komunis China. Program OBOR Komunis China tidak salah lagi merupakan visi masa depan Komunis China untuk menguasai dunia, yang menggambarkan kerakusan bangsa keturunan dinasty Han itu. 

Kesadaran Amerika dan Sekutunya.

Namun, ambisi dari kerakusan Komunis China ini, terganggu oleh bangkitnya kesadaran Amerika dan sekutunya, terutama NATO, yang segera melakukan konsolidasi. Bukan hanya NATO yang telah dibangunkan kesiap-siagaannya oleh Amerika, yang tidak ingin supremasinya sebagai negara Adidaya di plorotkan okeh Komunis China, namun sejumlah aliansi telah dibentuknya dalam rangka menghadapi Komunis China. Semenjak Donald Trump, perang dagang antara Komunis China dengan Amerika terus berlamgsung hingga hari ini. Di tengah berlangsungnya perang dagang, kedua bela pihak, saling "serang" melalui berbagai paket kebijakan. 


Rusia Masih Memilih "Netral".

Kedua bela pihak, Komunis China maupun Amerika, memberikan perhatian terhadap sikap politik Rusia. Bagaimana pun, Rusia merupakan faktor kekuatan yang sangat signifikan bisa mengubah peta kekuatan politik global, di tengah meningginya tensi politik antara Amerika dan sekutunya dengan Komunis Tiongkok dan aliansinya.

Komunis China dan proxinya.

Korea Utara, negera Komunis yang memiliki hulu ledak nuklir dengan kemampuan rudal jelajah antar benua yang dapat menjangkau kota-kota di Amerika, adalah proxy utama dari Komunis China. Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, akhir-akhir ini sangat aktif menyampaikan kritik bahkan peringatan kepada Amerika, juga nyaring suaranya dalam mengomentari upaya pemerintah Jepang dalam membangun kemampuan persenjataan mereka. 

Iran, negara yang memang memiliki dendam kesumat dengan Amerika di rangkul oleh Komunis China untuk bersama-sama menghadapi Amerika. Keuntungannya Komunis China membeli minyak dari Iran dalam jumlah besar, untuk memastikan ketersediaan minyak yang sangat diperlukan untuk menggerakan berbagai alutista angkatan perang PLA. Dengan demikian, Komunis China tidak mesti tergantung kepada impor minyak dari Arab Saudi, jika sekiranya Arab Saudi dapat tekanan dari Amerika. Disisi lain, Iran terus memodali para pemberontak Houthi di Yaman untuk melawan Arab Saudi, terutama menyerang intalasi minyak Arab Saudi, yang merupakan salah satu kunci dari pemenuhan logistik bagi militer NATO.

Sejauh ini, blok kekuatan militer praktis telah terkonsolidasi dari kedua belah pihak. Namun nampaknya, upaya Komunis China memastikan Myanmar masuk dalam proxynya tidak berjalan mulus. Junta militer yang di dukung Komunis China mengkudeta Aung San Suky nampaknya gagal total meraih simpati publik Myanmar, dan berubah menjadi malapetaka. 

India yang juga memiliki kekuatan militer yang kuat, telah bergabung dalam Indo Pasific bersama Amerika, Australia, Selandia Baru dan Jepang. Fakistan yang dipimpin kembali oleh Imran Khan, terpilih atas dukungan China, bisa jadi diharapkan oleh Komunis China membantu mereka. Namun sejauh ini, belum terbaca jelas apakah Pakistan yang juga memiliki hulu ledak nuklir itu mau menjadi proxy China dalam menghadapi India. 

Jika Komunis China gegabah, apalagi jumawa dengan tiba-tiba menyerang Jepang, atau Taiwan bisa jadi itulah yang akan memicu perang besar di abad 21. Atau bisa jadi juga jika Korea atau Iran, proxy-proxy China ini melakukan manuver di luar batas, itu pun bisa memicu perang. Nampaknya dari pihak Amerika, lebih memilih untuk menunggu, dan dalam pada itu, membantu semua negara yang mungkin diajak berkoalisi untuk mempersiapkan angkatan perang mereka.

Jika NATO tidak mencampuri urusan antara Rusia dan Belarusia terkait dengan Ukrania, bisa diperkirakan Rusia tetap netral, jika perang meletus akibat sengketa di LCS. Namun jika Nato tidak berhati-hati dalam urusan di Ukrahia, Rusia bisa dengan sangat terpaksa masuk dalam aliansi Komunis China. Sementara itu, masalah Suriah, tidak akan menjadi triger bagi pecahnya perang besar, meskipun kawasan tersebut akan terus memanas.

Kita ikuti saja gimana arah perkembangan selanjutnya dari kemungkinan pecahnya perang dunia ketiga. Apakah makin terkristalisasi, ataukah akan di atasi melalui cara diplomasi.

Oleh: Hasanuddin
Penulis tinggal di Depok, Jawa Bara
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI