Memahami Polemik Bipang Ambawang

| Senin, 10 Mei 2021 | 04.24 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Seandainya ada jamaah yang mengantuk saat pengajian, kemudian untuk membangunkannya, seorang Ustad dalam ceramahnya tiba-tiba menyelipkan kalimat: "Bapak-bapak, Babi! Ibu-ibu, Anjing!" Apa yang terjadi? Pasti heboh... Tapi kemudian Ustad melanjutkan kalimatnya, "Haram dimakan...".  


Sehingga kalimat lengkapnya menjadi "Bapak-bapak, Babi. Ibu-ibu, Anjing, haram dimakan..." 

Kalimat ini sebut saja sebagai teks, jamaah yang mengantuk sebut saja sebagai konteks. Jika kalimat "Bapak-bapak, Babi! Ibu-ibu, Anjing!" dipotong dan menyebar luas di media sosial, ini sangat berbahaya...

Demikian pula halnya heboh kalimat *Bipang Ambawang Kalimantan* dalam pidato Presiden Jokowi. Sebagai teks, saya juga sempat kaget mendengarnya di media sosial. Sempat mencari-cari argumen mengapa ini menjadi materi komunikasi Jokowi? Siapa konsultan komunikasinya?

Namun setelah melihat konteks utuh pidatonya selama 28 menit tersebut, barulah saya paham secara utuh konteksnya. Dalam hal ini, Jokowi tidak dapat disalahkan sepenuhnya, apalagi dengan narasi kebencian membabi buta. Ingat, dalam Islam babi saja haram, apalagi yang buta.

Yang saya pahami konteksnya saat pidato itu adalah:

1. Promosi kuliner khas lokal tanah air. Tentu tidak semua kuliner halal.

2. Ditujukan pada semua khalayak (bukan saja muslim) yang menikmati libur lebaran.

Jokowi tidak keliru, jelas menyebut *Bipang Ambawang Kalimantan,* bukan jipang. Ini bukan _slip of the tongue_ (keliru ucap). Dari sisi lafaz, Jokowi tidak perlu dibela dengan memanipulasi Bipang menjadi Jipang agar kontroversi publik bisa reda seperti yang dilakukan oleh Juru Bicara Presiden.

Lantas mengapa kalimat *Bipang Ambawang Kalimantan,* bisa terlontar?

Menurut saya selain 2 konteks tadi, ini persoalan _mindset_ Jokowi yang selalu pro minoritas, kelompok pinggiran, kelompok terluar, terjauh dan tertinggal. Karena itu bagi saya tidak ada masalah dengan ucapan Jokowi tersebut.

Menjadi masalah karena ada  teks pidato yang dipenggal agar lepas dari konteksnya kemudian disebar di media sosial. Kebencian politik identitas seperti tersulut, sontak saja polarisasi terbentuk. Iklan sedikit, terkait munculnya politik kebencian ini, Insya Allah bulan Juli hasil riset saya *Munculnya Politik Kebencian* di terbit di jurnal nasional.

Dua kelompok pro dan kontra pemerintah bangkit seperti sel tidur, karena sejak 2014 mereka sudah terbentuk. Keduanya sama-sama menggunakan buzzer. Ini yang bahaya....

Bagaimana mengakhiri polemik *Bipang Ambawang?* 

Biasanya dalam situasi pra krisis komunikasi seperti ini, ada 3 strategi yang dilakukan penasehat komunikasi pihak yang tersudut, dalam hal ini pemerintah.

(1) Jubir atau tim komunikasi minta maaf sambil menyelipkan argumen yang mengena.

(2) Ciptakan _spin doctor,_ singkatnya pengalih opini publk.

(3) Biarkan saja, secara natural akan reda dan akhirnya menghilang. 

Saya mengamati aktivitas di media sosial, sebutlah kubu pro pemerintah awalnya memilih strategi melawan. 

Strategi ini dapat dibaca, tim komunikasi pro pemerintah menganggap ini masalah sepele atau tim buzzer memang sudah disiapkan bertempur. 

Bertempur lakukan serangan balik dan biasanya melebar ke sana-kemari. Pucuk isu akan lepas dari akar isu sebagai masalah pertama. Bola liar opini akan merambat ke persoalan toleransi, minoritas bahkan bisa jadi menantang:

"Kalau memang Jokowi anjurkan pesan Bipang Ambawang, kenapa rupanya? Faktanya memang itu makan khas tradisional Indonesia koq..."

Inilah relevansi riset saya kemarin tentang buzzer sebagai _apparatus political._ Sila dibaca:

Jika ini yang terjadi, sangat saya cemaskan berpotensi merusak suasana kebatinan bulan suci Ramadhan dan Idul Fithri. Mungkin karena pertimbangan ini, kendati menurut saya Jokowi tidak salah, kemudian pemerintah mengambil starategi pertama:

*Jubir atau tim komunikasi minta maaf sambil menyelipkan argumen yang mengena.*

Mendengar penjelasan (klarifikasi) Menteri Perdangangan, cukup menjelaskan strategi yang diambil tersebut. Menurut sata strategi ini sangat tepat.

Tapi sebagai pengamat komunikasi, masih ada satu hal yang saya cemaskan.

Bagaimana jika polemik Bipang Ambawang ini sengaja dimunculkan sebagai strategi _spin doctor_ untuk mengalihkan hal aktual besar lainnya?

Wallahu a'lam bishawab...

Oleh: Iswandi Syahputra
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI