Ki Bagoes dan Sila Pertama Pancasila

| Selasa, 29 Juni 2021 | 07.55 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Saya sebenarnya sudah lama ingin menulis artikel ini, namun selalu gagal karena saya selalu kalah dengan perilaku saya yang tidak tertib dalam menyusun agenda kegiatan sehari-hari. Namun saya menemukan momentum menulisnya saat publik dihebohkan oleh beredarnya naskah Rencana Undang-undang tentang Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila yang sering disingkat dengan RUU-HIP.


Tulisan ini mencoba mengangkat sekelumit kisah yang tidak banyak diangkat para ahli yang terjadi sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945. Jangan salah, saya tidak akan mengungkap lagi peristiwa dihapusnya 7 kata dari Piagam Djakarta menjadi Yang Maha Esa, sebagaimana kita kenal dalam Pancasila sekarang. Sudah banyak yang membahas peristiwa tersebut secara detil dengan berbagai versi. Namun saya akan membahas sidang pada harinya sesudah Ki Bagoes menyetujui penghapusan 7 kata tersebut.

Tercatat dalam Risalah Sidang BUPPKI dan PPKI bahwa siang itu rapat dimulai terlambat, yaitu pukul 11.30 (atau 10.00), dipimpin oleh Bung Karno dengan Agenda Pengesahan Undang Undang Dasar. Setelah dbuka, maka Bung Hatta membacakan Rancangan UUD, termasuk perubahan 7 kata menjadi Yang Maha Esa, dan menghapus agama Islam sebagai persyaratan menjadi Presiden.  Mengenai Pancasila (di naskah Pembukaan UUD 45 tidak ada sebutan Pancasila), sila pertama yang dibacakan Bung Hatta adalah: Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab, ….. dst. Selesai naskah ini dibacakan, maka Ketua Sidang meminta persetujuan sidang. Dan di sini intuisi dan kecerdasan Ki Bagoes terlihat. Beliau menjadi orang pertama yang mengajukan usul atau saran (beliau tidak lagi mempersoalkan pencoretan 7 kata), kata beliau:

“Saya kira, perkataan “menurut dasar kemanusiaan” lebih baik diganti dengan “ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil….dst”

Bung Karno kemudian menimpali:

“Tuan Ki Bagoes mengusulkan, supaya dipakai perkataan “ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, dan perkataan “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” dicoret saja. 

Di sini terlihat Bung Karno salah mengerti dan langsung dikoreksi oleh Ki Bagoes:

“Berdasar kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”, “menurut dasar” hilang.

Bung Karno kemudian menyimpulkan:
“…. Jadi: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,  dan kerakyatan”, dan seterusnya.

Rumusan inilah yang disetujui sebagai rumusan Pancasila sampai sekarang.

Penghilangan kata “menurut dasar” merupakan hal yang luar biasa dan jelas menunjukkan insting Ki Bagoes tentang kesalahan makna kalimat asli Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan …dst). Bila menggunakan kalimat asli, maka bisa diasumsikan bahwa ke-Tuhanan Yang Maha Esa seolah-olah tidak cukup dan harus didasari oleh kemanusiaan yang adil dan beradab dst.  Atau bila dibalik maka seolah-olah ada ke-Tuhanan yang tidak berperikemanusiaan. Ki Bagoes dengan cepat mengubahnya dan tidak satu orangpun menolak. Mungkin mereka tidak sempat berpikir atau telah merasa puas dengan dihapusnya 7 kata tadi dan menganggap pencoretan kata “menurut dasar” adalah hal yang kecil.

Tampaknya di jaman ini ada sekelompok orang ingin menghidupkan lagi kata “menurut dasar” tadi namun dengan ungkapan yang lain, yaitu “Ketuhanan yang berkebudayaan”. Ungkapan itu ada di RUU HIP yang sekarang sedang mendapatkan penolakan dari masyarakat, utamanya kaum muslim, baik perorangan maupun melalui ormas Islam. Namun sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada satu orang-pun yang mempersoalkan “Ketuhanan yang berkebudayaan” tadi. Semua terpusat pada pemerasan Pancasila menjadi Trisila atau Eka Sila (Gotong Royong), dan juga analisis yang menyatakan bahwa RUU HIP justru merongrong Pancasila dsb.

Istilah “Ketuhanan yang berkebudayaan” mengimplikasikan seolah-olah ada Ketuhanan yang tidak bekebudayaan. Sungguh ini sangat sembrono. Kita tahu bahwa Tuhan dan Budaya adalah dua hal yang berbeda, yang satu bersifat “langit” dan sakral sedangkan yang satu adalah produk akal budi manusia. Tapi bisa juga ini mengadopsi suatu pemahaman aliran postivisme-nya Augus Comte yang hampir serupa bahwa Tuhan (dan eksistensinya) adalah jelmaan dari akal budi manusia. Sehingga bertuhan atau beragama adalah bagian dari budaya.

Maka, dalam situasi seperti sekarang ini, elok untuk kembali mencermati sejarah UUD 45, utamanya sejarah Pancasila. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (JASMERAH). Itu pesan Bung Karno. Tapi baik juga untuk diwanti-wanti: Jangan mengulangi kesalahan yang sama.

Oleh : Dr. Achmad Poernomo Djarnawi


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI