Mencari Calon Presiden Untuk Indonesia

| Jumat, 04 Juni 2021 | 08.10 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Pemilu dan Pilpres 2024 masih tiga tahun lagi, tapi simulasi tentang siapa yang diharapkan menggantikan Jokowi telah ramai di ruang publik. Bukan hanya di kalangan masyarakat, tapi juga di kalangan elit partai politik, terutama partai-partai yang sedang berkuasa. Sejumlah nama tengah dipersiapkan.


Namun seperti biasanya, para elit politk yang tidak punya visi kebangsaan itu, kurang membicarakan tantangan seperti apa yang sedang dihadapi oleh Bangsa Indonesia, strategy seperti apa yang mesti dilakukan menjawab tantangan tersebut, sosok pemimpin seperti apa yang dibutuhkan Bangsa Indonesia agar bisa bangkit dari berbagai persoalan yang sedang dihadapi. Para politisi memoles jago-jagonya, tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat. Mereka tidak peduli suara rakyat, yang nota-benenya pemilik suara, pemegang kedaulatan. 

Situasi demikian, telah berulangkali terjadi pasca reformasi, sebagai akibat dari kuatnya sebuah tesis politik, bahwa uang-lah yang menentukan orientasi pemilih. "Gizi" yang terpenting, bukan "visi". Maka kalkulasi politik, mereka ukur dari ada tidaknya dukungan para "cukong" yang banyak berkonstribusi dalam pemenangan pilpres pada waktu yang lalu. Para "cukong", tentu tidak cuma-cuma memberi "gizi" yang dikejar-kejar para politisi itu, tapi juga akan menyertakan "visi" mereka atas setiap dollar yang mereka berikan kepada para politisi itu. Maka muncullah tokoh tanpa visi, karena "visi" maupun "gizi" telah diberikan satu paket. Megawati menggunakan istilah "pekerja partai" terhadap tokoh yang diusung, pada pilpres, maupun pada pileg. Semua orang mengerti bahwa "perkerja atau buruh" itu, bukan pemilik "visi" dan tidak punya "gizi". Mereka hanya pelaksana tekhnis atas "visi" dan diberi "gizi" yang sesuai  supaya tidak kelaparan. 

Pemimpin Otentik.

Bangsa Indonesia memerlukan pemimpin, bukan pelaksana tekhnis, atau pekerja. Pelaksana tekhnis bisa diberikan kepada kalangan profesional di berbagai bidang, sesuai keahliannya. Pemimpin mengatur, mengendalikan, memgkkordinasikan dan mengevaluasi, program-program yang diberikan kepada kalangan profesional itu. Maka "pemimpin" mestilah yang utama dan terutama adalah memilik "hikmah kebijaksanaan" dalam memimpin. Visi "diserap" dari aspirasi masyarakat, atau merupakan hasil permenungan atas situasi dan kondisi masyarakat, berdasarkan arah dan tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, dimana didalamnya juga ada termaktub Pancasila. Hasil rumusan atas penyerapan aspirasi masyarakat, arah dan orientasi atau haluan berbangsa dan bernegara itulah yang dikonseptualisasi dan disampaikan kepada publik, dan dengan pemahaman atas "visi" itulah masyarakat mempertimbangkan pilihan-pilihan politiknya. Inilah yang dimaksud "demokrasi substantib", suatu proses transaksi gagasan antara elit aktor dengan massa, dalam teori-teori demokrasi pluralis. Politik gagasan, menawarkan program, bukan menawarkan "money politik", atau memobilisasi aparat untuk memaksakan pilihan-pilihan politik.

Berdasarkan pencermatan atas nama-nama yang telah disebut-sebut sebagai bakalan diajukan sebagai Capres, baik yang dimuculkan melalui rekayasa opini seperti survey "berbayar", maupun yang muncul karena memang banyak diperbincangkan, nampaknya telah diperoleh beberapa nama yang menurut opini itu layak dicalonkan. Namun apakah nama-nama itu memang layak karena kompetensinya, atau dinyatakan layak karena seringnya jadi capres, ataukah dinyatakan layak karena faktor keturunan, masih terlalu dini untuk disimpulkan. Kami akan melakukan pengamatan, dan insya Allah akan menurunkan catatannya pada kesempatan yang lain.

Pola pemetaan.

Nampaknya, pola pemetaan berdasarkan ideologi politik Nasionalis-Sekuler, Nasionalis Religius dan atau kombinasi antara keduanya itu, sangat mungkin muncul pada pilpres 2024. Disamping itu, kombinasi Sipil-TNI, Sipil-Sipil atau Sipil-Polisi, belum bersifat baku. Semua masih cair dan sedang mencari pola. Kombinasi Usia "Tua-Muda", "Tua-Tua", "Muda-Muda" sangat mungkin muncul. Kombinasi gender, "Perempuan-Laki-Laki" atau Laki-Laki dan Laki-Laki" sangat mungkin muncul sebagai pasangan. Tapi kombinasi "Perempuan dengan perempuan", nampaknya kecil kemungkinan. 

Akhirnya, dalam situasi Bangsa benar-benar sedang menghadapi tantangan yang kompleks, hadirnya pemimpin dengan "ide dan gagasan yang baik", moral integritas yang baik", hikmah "kebijaksaan yang juga baik", serta memiliki "husnul khuluq" yang patut diteladani amat penting, dan inilah yang kami sebut sebagai "pemimpin yang otentik". Bukan "pekerja partai" atau "buruh partai", bukan budak para cukong. Mungkin tidak atau sulit menemukan yang ideal betul, namun setidaknya mendekati kearah itu.

Mari kita amati perkembangan selanjutnya, jangan lupa waspadai kekuatan ideologi anti Pancasila seperti Komunisme.

Jangan lupa, kita sedang mencari Calon Presiden Indonesia. Bukan pesuruh Komunis Tiongkok, atau Kapitalis Global (Cabal).

Oleh: Hasanuddin

(Penulia Tinggal di Depok, Jawa Barat)


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI