Setelah Syarief Mengenolkan Diri

| Jumat, 18 Juni 2021 | 09.02 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Syariefhans tampil di mimbar dengan gagah dan perlente. Ia mengenakan kemeja hijau tua,  dengan lengan panjang yang dikancing rapi. Ketampanan dan kulit putihnya membuat baju yang berwarna tak lazim itu tetap terlihat pantas melekat di tubuhnya yang tinggi dan tegap. Dengan suara bariton yang meyakinkan, ia membuat peserta musyawarah dengan cepat menyetujui pertanggungjawabannya sebagai Pemimpin Umum Muhibbah, majalah mahasiswa UII Jogja yang dijual di kios-kios umum. Dalam musyawarah itu ia digantikan oleh Moh. Mahfud MD, yang kini Menko Polhukam.


Sebagai mahasiswa yang baru masuk kampus dua bulan, saya yang duduk di barisan tengah, dan tak kenal seorang pun di ruangan besar yang penuh aktifis mahasiswa, memandangi semua “teater” itu dengan kagum. Saya memang memberanikan diri naik ke mimbar pada sesi evaluasi, untuk menyajikan sepuluh kelemahan Muhibbah sebagai majalah, tapi saya tak berani menyapa tokoh-tokoh besar yang hadir di sana. 

Dari semua yang terlihat, jelas tampak bahwa Syariefhans adalah salah satu tokoh terpenting di dunia aktifis mahasiswa UII. Ia sangat percaya-diri, dan belakangan saya ketahui ia rajin menularkan sikap dan penampilan konfiden itu kepada teman-temannya, dan kepada siapa saja yang ia rasa perlu mengadopsi sikap serupa dalam menjalani hidup. 

Untuk itu ia berbekal sejumlah buku self-improvement, tapi terutama “How to Win Friends and Influence People”karya Dale Carnegie (versi terjemahannya diterbitkan oleh Sumur Bandung). Carnegie adalah pelopor dalam genre buku motivasi atau “how to”, dan bukunya sampai sekarang masih terus dicetak oleh banyak penerbit Amerika, sejak 1940. 

Syariefhans sangat terpengaruh oleh saran-saran Carnegie yang meyakinkan dalam konteks pematangan kepribadian, termasuk teknik-teknik swa-sugesti, sampai ia menyalin banyak sekali frasa-frasa Carnegie, menjadikan poster-poster kecil yang ditempelnya di kaca cermin, di dekat meja belajar dan di sudut rumah mana saja yang mudah ia lihat. Upaya meyakinkan diri memang perlu terus menerus ditanamkan — metode memasang kalimat-kalimat motivasi ini pun diajarkan oleh Carnegie di buku itu. 

Waktu itu ia baru lulus sebagai sarjana hukum, tapi rupanya masih ingin menikmati hari-hari terakhir kehidupan mahasiswa Jogja yang menyenangkan. Bersama teman-teman seangkatan atau junior seperti Asmar Oemar Saleh, AE Priyono (alm), Sholeh Amin, Mochtar Effendi Harahap (alm) dan Zulkifli Halim (keduanya mahasiswa UGM) dan beberapa kawan lain, ia mendirikan Lembaga Studi Nusantara (LSN), berkantor di rumah kontrakan yang termasuk mewah di Timoho, yang sekaligus dijadikan tempat tinggal. Mereka termasuk generasi pertama mahasiswa era Orde Baru yang membentuk lembaga studi semacam itu, ketika kehidupan politik kampus dilumpuhkan oleh desain politik NKK/BKK. 

Saya hampir tak pernah lagi berjumpa dengan Syariefhans sejak acara musyawarah Muhibbah itu, hingga hampir tiga tahun kemudian, ketika tiba-tiba ia muncul di kantor majalah yang telah berganti nama menjadi Himmah dan saya ditunjuk menjadi pemimpin redaksinya. Syariefhans, yang lebih perlente dibanding sebelumnya, rupanya sekadar ingin bernostalgia; ia memuji besarnya kemajuan kondisi bekas kantornya itu. Dalam obrolan, tiba-tiba ia mendesak saya supaya segera pindah ke Jakarta. 

“Jogja ini kasur tua, Bung,” katanya, mengutip frase Rendra yang selalu dikaguminya. “Orang seperti Anda akan berkembang baik jika ke Jakarta. Kota ini terlalu kecil untuk Anda!” Tentu saja ia sengaja berlebihan dalam menilai diri saya, tapi ia selalu mampu membuat orang tersanjung, apalagi junior seperti saya. Dan dia tidak tahu bahwa saya baru di tahun ke tiga kuliah; tidak mungkin berani mendadak pindah ke Jakarta. 

***

Rupanya ia dengan cepat meraih sukses sebagai pengacara di Jakarta. Tampaknya ia berbulat hati mengadu nasib di sana bersama beberapa teman seangkatannya, Henry Yosodiningrat dan John Pieter Nazar, eks pemred Muhibbah ketika Syariefhans menjabat pemimpin umum. Semula mereka berlabuh di firma hukum Harjono Tjitrosoebono pengacara idealis yang sudah mereka kenal sejak mahasiswa, dan diketahui suka menampung eks aktifis mahasiswa sebagai lawyer di kantornya.

Sebentar kemudian mereka menempuh jalan masing-masing di luar kantor Harjono. Syariefhans, dengan jaringan pertemanan dan kekerabatannya, dengan cepat menjadi pengacara kaya. Mereka termasuk generasi pertama pengacara lulusan UII yang menguji daya tahan di Jakarta, dan umumnya berhasil. 

Sebagian karena suksesnya yang besar, sebagian lagi karena ia ingin mencoba hal baru dalam hidupnya, Syariefhans kemudian kembali ke Jogja dan mendirikan sekolah perbankan. Ia melihat perbankan dan bisnis umum di Indonesia bakal terus membesar, dan ia membidik peluang untuk menyiapkan tenaga-tenaga ahli di bidang perbankan. 

Ia dikenal pemberani. Ia tahu ia bukan ahli perbankan yang mencapai taraf layak mendirikan sekolah spesialis bidang itu. Tapi bagi Syariefhans tidak ada yang tak bisa dipelajari, dan tidak ada bidang yang dia tak mungkin menemukan personel-personel tangguh untuk menjalankan ide-idenya. Besar-kecil risiko itu relatif. 

Selama kita menguasai permasalahan dan seluk-beluk persoalan, tidak ada risiko yang cukup besar sampai menggentarkan kita untuk mencobanya. Risiko sekecil apapun akan jadi bencana bagi orang-orang yang tak mengerti duduk-perkara ketika menghadapinya. Dale Carnegie terus mengawal dan menuntun langkah-langkahnya. 

Tanpa sebab-sebab yang saya ketahui, karena di masa kedua hidupnya di Jogja dengan Nitro Banking School itu saya tak pernah berjumpa dengannya, dalam waktu singkat sekolah itu berakhir. Tapi Syariefhans adalah Syariefhans. Kegagalan tak pernah mampu menyurutkan langkahnya. 

Jika ia gagal menempuh satu jalan, ia akan menempuh jalan lain dengan semangat berganda. Ia kembali memboyong keluarga kecilnya ke Jakarta, untuk menghadapi tantangan baru yang rupanya sudah kurang ia kenali. Tampaknya dunia lamanya, kepengacaraan, sudah cukup jauh meninggalkannya; ia seakan tergagap mengikuti dinamikanya yang berlangsung terlalu cepat. 

Maka yang saya temui bertahun-tahun kemudian bukanlah Syariefhans, melainkan seorang yang semakin gemar menuliskan lengkap nama aslinya: Sayyid Syarief Hamid Shebubakar — dan terkadang ia suka juga menjuluki dirinya “Habib Mampang”, merujuk kampung tempat tinggalnya di Jakarta Selatan. 

Rupanya ia mengalami pembaruan religius, mencoba menekuni buku-buku agama dalam versi non mainstream, yang ia anggap lebih murni dan sejati. Ia hapal sejumlah ayat Quran dan hadis, dan dengan itu ia merasa bekalnya telah memadai dan ia tampak berusaha menempuh karir baru sebagai penceramah agama. 

Tampaknya ia cukup sering tampil di forum-forum terbatas di lingkungan yang sealiran dengannya. Tapi ia ingin memperluas audiensnya, lalu mulai “berlatih” dengan cara membuat video rekaman singkat wejangan-wejangan religiusnya untuk disebarkan ke beberapa grup WA. Ia terlihat cukup bimbang dalam menentukan garis. 

Kadang tampak ia juga ingin merangkap menjadi “motivator sekuler”; bukankah bekal lamanya dari Dale Carnegie masih relevan, apalagi diperkayanya dengan bacaan-bacaan baru sebagai pelengkap, dan bukankah para motivator mashur yang sukses besar itu sesungguhnya hanya mengajarkan hal-hal biasa atau bahkan dangkal, yang pasti kalah “dalam” dibanding apa yang dimilikinya? 

Bagaimanapun, Syariefhans telah bertransformasi menjadi Sayyid Syarief, yang tak henti mengutip Imam Ali yang selalu disebutnya “Pintu Ilmu”, dan tak pernah bosan mempromosikan apa yang dia anggap prestasi-prestasi Iran beserta supreme leader yang selalu disebutnya dengan takzim sebagai “Rahbar” (Ali Khamenei). 

Sayyid Syarief berbulat hati melakukan uzlah seperti anjuran para sufi; setidaknya secara mental. Ia tidak menyepi ke gunung. Ia masih tinggal di sekitar Jakarta, dengan mobil seadanya, dengan busana biasa, sebagian merupakan sisa-sisa kejayaannya ketika ia selalu tampil dengan busana dan aksesori branded. 

Ia punya banyak waktu luang di sela-sela kegiatan ibadahnya, yang diisinya dengan tak henti memproduksi wejangan-wejangan pendek dari khazanah agama, sejak selepas Subuh hingga larut malam. Ia seakan merasa tak pernah cukup menyebarluaskan kearifan-kearifan hidup “Pintu Ilmu.” Jika nasihat-nasihat luhur itu terbukti telah mengubah hidupnya, mengapa ia tak mungkin mengubah orang-orang lain juga, setidaknya mereka yang berada di lingkungan terdekatnya? Ia berhasrat besar berbagi kearifan hidup kepada siapa saja. 

Memperkaya saran-saran religiusnya dengan tawaran aneka produk — dari jamu sehat sampai rumah murah, juga info-info kesehatan dari kelompok. Mer-C yang dibanggakannya hingga saran-saran bisnis dari kelompok barunya yang dia namai AmPro (Asosiasi Muslim Profesional) — Sayyid Syarief tak pernah melupakan hobi terbesarnya: catur. 

Ia terlihat cukup membaca buku-buku teori, bukan sekadar hobi main seperti dilakukan orang-orang untuk mengisi waktu luang. Dan catur tetap bersinggungan dengan semangat religiusnya: olahraga otak itu ia yakini berasal dari Persia, dan di Iran, katanya, catur menjadi kegiatan kurikuler wajib di sekolah-sekolah. Maka orang sana rata-rata pintar dan berumur panjang. Main catur adalah kegiatan mulia yang senafas dengan anjuran agama, bukan penyia-nyiaan waktu seperi dituduhkan sebagian ulama. 

“Di Iran, orang berumur 60 itu dianggap sedang lucu-lucunya, bukan dikategorikan tua,” katanya selalu. Dale Carnegie telah jauh terdesak ke kursi belakang, digantikan oleh “Pintu Ilmu” beserta Rahbar dan segala sesuatu yang terpuji tentang negeri pujaan hati, Iran.

***

Persis pada 64 kotak hitam-putih itulah saya menemukan kaitan baru dengan Sayyid Syarief. Kami jadi sangat sering bertanding sejak sepuluhan tahun terakhir, difasilitasi oleh dua keponakannya yang dedikatif di kantor mereka, Yan Mustafa dan Ari Yusuf (firma Ail Amir & Associates) atau akhir-akhir ini di kantor lain mereka (Ari, Singajuru dan Rekan). 

Kami sungguh menikmati kehangatan persahabatan dan pertandingan yang memikat. “Kalau ada undangan makan, kita gampang menolaknya; kalau undangqn catur, mana bisa kita tolak?” kata Syarief selalu setiap datang ke arena. Dengan itu ia selalu menekankan betapa pentingnya catur sebagai sarana penyegar dan pencerdas pikiran — seperti dilakukan orang Iran. 

Saya kadang meledeknya dengan menekankan bahwa bermain catur itu membuat orang pintar dalam catur, bukan dalam soal lainnya. Dia akan membantahnya dengan berkobar-kobar.    

***
 
Akhir pekan lalu, Sabtu malam 13 Juni, saya mendengar musuh terbesar saya itu jatuh sakit. Saya duga itu hanya akan berlangsung dua-tiga hari karena setahu saya ia tidak mengidap penyakit apapun, antara lain karena rajinnya ia berjalan kaki — ini olahraga yang tak disukainya semasa di Jogja; ketika teman-temannya berjalan kaki, ia tekun berlatih yoga di rumah saja, tapi dengan menghasilkan keringat yang jauh lebih banyak. Dugaan saya tepat. Senin pagi ia sudah berjemur matahari dengan segar. Tapi Kamis pagi saya mendapat kabar yang menyesakkan dada. 

Ia pergi untuk selama-lamanya pada pukul 7.27 di rumahnya di Cikeas, dan segera dimakamkan di sana. Semoga seluruh keluarga besarnya tabah menghadapi kehilangan besar yang mengejutkan ini. Ia adalah bungsu dari lima bersaudara; dilahirkan di Palembang pada 11 September 1954. 

Saya kehilangan seorang lawan catur yang tangguh, yang tak pernah menyerah jika belum sungguh-sungguh kalah; dan tidak pula merasa menang jika permainan belum berakhir dan ia memang sungguh-sungguh memenangkan pertarungan itu. Sampai minggu lalu kami masih bertanding, seperti minggu-minggu sebelumnya. 

Saya sudah menyiapkan diri untuk pertandingan sebentar lagi, toh dalam beberapa hari kami akan bertemu lagi di meja catur. Harapan saya meleset jauh. Jauh sekali. Syarief tak akan pernah lagi menggeser kuda atau bentengnya. Ia tak akan pernah lagi mengeluhkan posisinya yang tersudut parah — tapi ia tak pernah satu kali pun berbangga atau menyombong, meski tentu dengan bergurau, ketika posisinya sedang sangat kuat saat berhadapan dengan siapapun. 

Bagi orang-orang terdekatnya, salah satu yang paling menonjol dari jejak Syarief adalah perubahan sikap hidupnya yang disebutnya menjadi “mengenolkan diri.” Ia terus belajar merendahkan hati sampai titik terendah yang ia bisa raih. 

Ini pertarungannya yang lain: bagaimana ia merasa harus mengubah diri dan penampilan dari seorang pengacara sukses yang tidak dikenal sebagai penyabar menjadi orang biasa, yang lebih sering mengupayakan harmoni dengan siapapun. Saya rasa dalam program transformasi personal ini ia cukup berhasil.

Tanpa menyebut-nyebut irfan (tasawuf), saya rasa tahap itulah yang sedang ia usahakan serius dalam kekhusyukannya menghayati dan mengamalkan agamanya. 

Dalam proses intensif untuk terus “mengenolkan diri” itulah, artinya memandang dan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah yang daif, tadi pagi ia pergi jauh, meninggalkan seorang isteri, empat anak dan dua cucu, keempat kakak kandungnya, dan begitu banyak kawan yang sangat terkejut. 

Maka husnul khatimah adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kepergian murid sejati “Sang Pintu Ilmu” itu. Dan seperti banyak kerabat dan sahabatnya, saya pun turut gembira bahwa ia berakhir dengan cara yang sama dengan saat ia bermula: cara terbaik sebagai hamba Allah yang insaf akan serba kelemahan dirinya sebagai manusia. 

Tapi sesungguhnya saya belum percaya ia telah pergi sejauh itu. ***

Oleh: Hamid Basyaib


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI