Pantun, Victor Hugo dan Achmad Fachrodji

| Senin, 06 September 2021 | 09.10 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Victor Hugo selaku penulis Perancis terbesar sepanjang sejarah sudah banyak yang tahu. 


Ia menulis novel “Les Misearable” (Orang Orang Yang Malang) di tahun 1862. Karyanya dianggap novel terbesar abad 19.

Di samping membaca novelnya, Saya berkali- kali menonton berbagai film layar lebar yang dibuat berdasarkan novel ini. Selalu saya terpana dengan drama moral dalam setting ekonomi politik Perancis abad 19.

Kutipan yang berasal dari renungan Victor Hugo juga banyak disitir. “Tak ada yang lebih kuat dibandingkan gagasan yang waktunya telah tiba.”

Ucapan itu acapkali disinggung oleh banyak pemimpin dan akademisi ketika menjelaskan semakin luasnya praktek demokrasi dan hak asasi manusia di banyak negara.

Demokrasi dan hak asasi mudah diterima karena “waktunya telah datang.” Dan “Tak ada yang lebih kuat dibandingkan gagasan demokrasi dan hak asasi, yang waktunya telah tiba.”

Bahkan tembok Berlin dirobohkan. Bahkan komunisme yang perkasa di Eropa Timur hancur.

Tapi tak banyak orang tahu. Victor Hugo ikut mempopulerkan pantun. Sebuah tradisi berpuisi ala Melayu dari Indonesia dan Malaysia juga ternyata memikat Victor Hugo.

Di dunia barat, pantun disebut pantoum. Disepakati bahwa pantoumm itu memang berasal dari tradisi melayu yang meluas ke Eropa dan Amerika Serikat.

Di tahun 1829, Victor Hugo mempopulerkan pantun ketika Ia membahas terjemahan Perancis karya Ernest Fouinet. Pengarang ini, tulis Victor Hugo, membawa tradisi puisi dari Timur.

-000-

Di tahun 2020, resmi sudah Unesco PBB menasbihkan Pantun sebagi warisan kekayaan dunia.

Pantun masuk kategori warisan budaya non-benda. Dalam kurun waktu berabad- abad, pantun menyebar  begitu luas, melintasi daerah dan negara.

Pantun, diakui sebagai puisi dari tradisi melayu. Ia sudah menjadi bagian hidup sebagian masyarakat Indonesia dan Malaysia sejak berabad- abad silam.

Bagaimana asal muasal pantun? Siapa penciptanya?
Para ahli memberikan pandangan yang beragam.

Satu pandangan itu menganggap pantun berasal dari kata penuntun. Ia dilahirkan dalam rangka memberi panduan hidup bermoral dan santun.

Nasehat hidup. Saling menyapa dan memberi pandangan. Kiat menghadapi masalah. Itu semua lebih halus dan indah, lebih menyentuh dan sopan, jika disampaikan melalui pantun.

Berbeda dengan puisi biasa, pantun acapkali dimulai dari sampiran. Itu istilah untuk kalimat awal yang acapkali tak berhubungan dengan isi dan gagasan utama pantun.

Tapi sampiran itu dibutuhkan dalam rangka menciptakan rima dan bunyi, yang senada dengan kalimat isi pantun.

Pantun dianggap setua dengan budaya Melayu sendiri. Ia berkembang dalam tradisi kerajaan Sriwijaya di Palembang abad ke 7. 

Lalu dari sana pantun menyebar ke Riau dan aneka wilayah nusantara.

Ini contoh pantun yang populer menjadi panduan dan nasehat. Tak kita tahu siapa pencipta awal pantun ini.

Berakit- rakit ke hulu.
Berenang- renang ke tepian.
Bersakit-sakit dahulu.
Bersenang- senang kemudian.

Dua kalimat pertama disebut sampiran. Dua kalimat akhir menjadi pesan utama.

-000-

Achmad Fachrodji akan dikenang sebagai tokoh yang ikut mempopulekan pantun kembali, terutama di lingkungan BUMN.

Ia sejak tahun 2016 diangkat menjadi Direktur Utama Balai Pustaka. Ini perusahaan penerbitan dan percetakan yang sudah berdiri sejak tahun 1908.

Dari Balai Pustaka lahir begitu banyak karya yang kini menjadi kanon sastra, seperti Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli. Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar. Nyanyi Sunyi (1937) karya Amir Hamzah.

Dengan instinknya selaku enterpreneur dan kecintaannya pada pantun, Fachrodji membuat pantun hidup kembali. 

Di Youtube dapat kita lihat berbagai video yang dibuat BUMN dalam rangka lomba berbalas pantun.

Fachrodji sendiri menulis buku pantun yang diterbitkan Balai Pustaka, di tahun 2019 (Cetakan  Pertama, dan 2021 (Cetakan Kedua). Judul bukunya “Semakin Santun Karena Berpantun.”

Berbagai jenis pantun ia tuliskan: pantun pegaulan, pantun bisnis, pantun pesta demokrasi, pantun media sosial, pantun minat baca, hingga pantun tentang Corona.

“Kapal Pinisi Bernuansa Biru.
Membawa nelayan di Pelabuhan Ratu.
Kunci adaptasi kebiasaan baru.
Protokol kesehatan jadi penentu.”

Taufik Ismail membuat pantun khusus untuk buku Fachroji. 

“Semoga pustaka kita bertambah kaya.
Semakin dalam, semakin rimbun.
Semakin cucu-cucuku bertambah dewasa.
Semakin santun karena berpantun.”

Ketika menulis esai ini, saya baru saja dipilih secara aklamasi menjadi ketua umum pesatuan penulis Satu Pena. Achmad Fachrodji kini menjadi pimpinan dalam Satupena itu di bidang Print on Demand.

Maka saya tutup esai ini dengan pantun soal penulis.

“Terbang, terbanglah burung belibis.
Terbang- terbanglah di udara.
Alangkah mulia kerja penulis.
Merangkai fakta menjadi cerita.”

Oleh: Denny JA


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI