Al-Qur'an sebagai Pembeda, sekaligus Yang Menghimpun

| Jumat, 22 Oktober 2021 | 06.21 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Membaca dan memahami teks dari ayat-ayat Al-Quran, dapat menjadi faktor pendorong terjadinya perpecahan jika tidak bijaksana dalam menyikapinya. Karena memang Al-Qur'an itu salah satu fungsinya adalah sebagai _Al-Furqon_ (pembeda). 


Sesuatu dapat disebut "berbeda" karena ukurannya berbeda, tempat kedudukannya berbeda, posisi keberadaanya berbeda, waktu kehadirannya berbeda, bentuk penampakannya berbeda, kualitas dan kuantitasnya berbeda, nilai kebaikan dan keburukannya berbeda, kemanfaatan dan kemudhoratannya berbeda, dan seterusnya yang kesemuanya itu masuk dalam pengertian _furqon_ yang seluas-luasnya. Perbedaan-perbedaan itu, adalah petunjuk (hudan) yang merupakan fungsi Al-Qur'an lainnya.

Al-Quran sebagai _furqon_ dengan demikian bertujuan memberikan penjelasan atas fungsi _hudan_ (petunjuk), melalui penjelasan-penjelasan yang disampaikan sehingga menjadi keterangan yang jelas atau _bayan_. 

Al-,Qur'an;  baik sebagai "petunjuk",  sebagai "pembeda", maupun sebagai "penjelasan", semua itu memerlukan _hikm_ (kebijaksanaan) dari orang-orang yang beriman, agar perbedaan-perbedaan yang ditemui dalam mempelajarinya tidak menjadi pemicu terjadinya perselisihan. Terutama jika seseorang baru pada tahapan mempelajari arti dan makna tekstual atau literal dari Al-Quran. 

Harus disadari bahwa pemahaman terhadap makna teks atau literal dari Al-Qur'an itu adalah pemahaman yang masih bersifat eksoterik, luar, masih dangkal, masih bersifat lahiriah. Belum memasuki pemahaman yang bersifat esoterik, mendalam, yang bersifat batiniah.

Maka maklumi dan bersikaplah bijaksana dalam membaca perbedaan-perbedaan penafsiran atas teks dari ayat-ayat Al-Qur'an dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmu alat seperti Ilmu Bahasa, ilmu nahwu, ilmu syaraf, ilmu tajwid maupun ilmu balaghah. 

*Al-Qur'an yang menghimpun*

Sekalipun makna-makna zahir atau lahiriah dari teks Al-Quran itu dangkal, tapi merupakan keharusan untuk ditempuh, sebelum memasuki makna esoterik, atau makna batiniahnya. 

Al-Qur'an itu "diturunkan" dengan struktur kalimat yang bersifat menghimpun, _al-kalimah al-jamu'ah_. Pada level yang masih disebut sebagai Qalam. Oleh Allah SWT, Nabi Muhammad SAW di anugerahi dengan "kalimat yang menghimpun" tersebut. Sehingga diperlukan usaha dalam menguraikan "himpunan" ini untuk memahami detail maknanya. Itulah fungsi ilmu-ilmu alat yang telah kami sebutkan diatas.

Selanjutnya, dalam rangka memahami atau menyelami makna-makna batin dari Al-Qur'an, dibutuhkan pendekatan atau ilmu yang lain, selain ilmu alat untuk memahami makna lahiriah dari sebuah teks atau ayat Al-Qur"an.

Jika makna lahiriah dari Al-Qur'an dapat dipahami melalui ilmu alat yang diajarkan para ahlinya, maka berbeda dengan makna batin dari Al-Quran, diberikan "langsung" oleh Allah dengan "diturunkan" atau "dikumpulkan" ke dalam dada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah. 

Seperti dalam firman-Nya berikut ini:

اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗۚ

inna ‘alainā jam‘ahū wa qur'ānah

_"Sesungguhnya Kami yang  mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya."_

Q.S Al-Qiyamah [75] : 17

Ketika Al-Quran itu telah berada dalam Qalbu Nabi Muhammad SAW, disebutlah ia sebagai _Kitab_. Maka Nabi Muhammad SAW itu disebut juga dengan _kitaabun mubin_, kitab yang nyata atau _living Qur'an_.


Selanjutnya setelah keseluruhannya telah Allah "wahyukan" atau "turunkan" ke dalam "dada" (Qalbu) Nabi Muhammad SAW, Allah memerintahkan Jibril membacakannya setahap, demi setahap dari Kitab Ilahi itu. Sebagaimana firman-Nya:

فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهٗۚ

fa iżā qara'nāhu fattabi‘ qur'ānah

_Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu._

Q.S Al-Qiyamah [75] : 18

Jibril membacakannya atas petunjuk Allah, sehingga disebut pada ayat ini "Kami".  Ketika di bacakan inilah statusnya dari _Kitab_ menjadi _Al-Qur'an_. Karena diturunkan dari khadirat Allah swt Yang Maha Agung, Maha Mulia, maka disebut dengan _Al-Quran al-Kariim_.

Setelah Nabi Muhammad diajari cara membacanya, maka hadirlah pemahaman dalam diri beliau atas makna-makna _Al-Quran al-Karim_ tersebut. Lalu Jibril atas bimbingan Allah swt memberikan penjelasan kepada beliau lebih detil lagi, sehingga di sebut dengan _al-bayan_. Sebagaimana firman-Nya: 

ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهٗۗ

ṡumma inna ‘alainā bayānah

_"Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya"._

Q.S Al-Qiyamah [75] : 19


Proses pewahyuan, disusul dengan proses pengajaran Allah kepada Nabi Muhammad SAW ini, telah Allah rencanakan. Sebagaimana hal ini kita bisa pahami dengan mempelajari sejarah Nabi Muhammad SAW. Kita tahu dari bukti-bukti sejarah bahwa Nabi Muhammad SAW oleh Allah telah di utus dari hadirat-Nya, melalui informasi yang disampaikan para Nabi terdahulu, baik pada kitab taurat, sabur, injil, maupun pada lembaran-lembaran _suhuf_ para Nabi. Di katakan bahwa Nama beliau adalah Ahmad. Dengan demikian Ahmad adalah nama beliau di alam arwah. Dan Muhammad adalah nama beliau di alam syahadah, yang diberikan oleh Kakek Beliau Abd Muttalib, seorang arif yang masih memegang teguh millah Ibrahim pada masa hidupnya.

Lalu semenjak beliau kecil, malaikat Jibril senantiasa menemani, membimbing beliau, dan hingga menjelang wahyu akan diberikan Allah dan Malaikat Jibril menuntun beliau untuk ber _khalwat_ dan _beruzlah_ di Goa Hira. 

Hal demikian Allah lakukan atas diri beliau karena Al-Quran yang mulia ini tidak dapat "disentuh" melainkan hanya oleh orang-orang yang telah di sucikan. Sebagaimana firman-Nya: 

اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ

innahū laqur'ānun karīm

_"dan (ini) sesungguhnya Al-Qur'an yang sangat mulia"_

Q.S Al-Waqi'ah [56] : 77

فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ

fī kitābim maknūn

_"dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh),"_

Q.S Al-Waqi'ah [56] : 78


لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ

lā yamassuhū illal-muṭahharūn

_"tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan."_

Q.S Al-Waqi'ah [56] : 79

Dari ayat 77-79 pada surah al-waqiyah di atas itulah disimpulkan bahwa usaha memahami makna batin dari Al-Qur'an tidak bisa ditempuh melalui metode yang sama dengan upaya memahami makna teks dari Al-Quran.

Makna batim dari Al-Quran hanya diajarkan Allah kepada jiwa yang telah di sucikan. Proses "pensucian jiwa" atau _"tazkiyatun nafs"_ inilah yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabatnya dan generasi muslim awal, dan selanjutnya di teruskan oleh para  _arifbillah_ dari kalangan ahli kasy, ahli ma'rifah, para sufi, para wali, dalam bentuk _ribaat_ atau _tarekat_.

Dan melalui makna-makna batin yang Allah ajarkan itulah para arifbillah, para sufi menemukan persaudaraan sejati sebagai umat Islam, umat yang senantiasa berserah diri hanya kepada Allah saja. 

Itulah kenpa kita tidak menemukan konflik, perseteruan terbuka, dari para ulama besar pada zamannya, setelah memasuki area dari makna-makna batin Al-Quran. 

Dan dalam realitas inilah Al-Quran hadir sebagai "pemersatu" dari perbedaan-perbedaan di kalangan merekan menjadi rahmat. Itulah berkat dari taufiq, hidayah dan inayah  di kalangan orang-orang yang didekatkan kepada Allah atau _"al-muqarrabuun"_. Dan mereka inilah para pewaris dari misi Kenabian, dan mereka-lah yang dijanjikan jalur "vvip" memasuki surga, dari arah manapun yang mereka sukai.

Semoga Allah swt senantiasa membimbing kita semua.

Oleh: Hasanuddin


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI