Cetak Ulang Membangun Industri Dengan Manusia Kompeten

| Kamis, 25 November 2021 | 13.26 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Beberapa hari terakhir ini anak bangsa yang merasa menjadi tenaga kerja yang kompeten terusik nuraninya dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang mengakui Indonesia minim SDM dengan kompetisi yang sesuai dengan kebutuhan industri (Kompas.com, 17/11/2021). Hal ini beliau tengarai setelah menemukan tenaga kerja di proyek smelter Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera Tengah yang tidak memiliki kualifikasi untuk pekerjaannya.


Saya menjadi salah satu yang terusik sehingga mencoba membuka catatan lama dan menulis ulang apa yang pernah saya rilis belasan tahun yang lalu mengenai pentingnya membangun industri dengan intellectual capital. (Berita Iptek, 20/05/2005)

Alasan saya mengungkit kembali pentingnya membangun industri dengan intellectual capital itu adalah adanya kegamangan terhadap stabilitas ekonomi makro, dimana pada saat pertumbuhan ekonomi baru mencapai kisaran 5% (data pada saat tulisan ini ditulis, laporan BPS menyebutkan 5,1% di kwartal ketiga 2004), inflasi sudah meningkat lagi menjadi 8,8% (per tahunnya), ditambah lagi dengan pelemahan nilai rupiah yang membuat BI harus menaikkan SBI menjadi 7,7%. Jika kecenderungan SBI terus meningkat, maka perbankan juga akan menaikkan suku bunga pinjamannya yang akan menghambat perkembangan ekonomi.

Tingkat inflasi dan suku bunga serta stabilitas nilai rupiah, yang diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk menyerap tenaga kerja, ternyata tidak demikian kejadiannya. Ini bisa dikatakan tidak terjadi pertumbuhan industri yang bisa memberikan ladang kerja baru kepada tenaga kerja produktif. Belasan tahun yang lalu itu terulang kembali pada hari ini dan diperparah dengan adanya pandemic Covid 19.

Menjawab Tantangan Tenaga Kerja Kompeten

Setidaknya ada dua hal yang harus segera digesa pemerintah untuk menghadapi ketimpangan pertumbuhan ekonomi, industri dan penyerapan tenaga kerja nasional. Ini sekaligus tantangan untuk memberikan solusi atas kegamanan Menko Marves terkait profesionalitas dan kompetensi tenaga kerja nasional.

Pertama, menggesa shifting industri berbasis teknologi. Tidak dipungkiri bahwa di sektor riil, pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh kestabilan industri nasional. Sebaliknya, majunya industri ditengarai dengan penyertaan modal baik dalam negeri maupun luar negeri, berupa saham maupun kredit jangka menengah panjang.

Taiwan adalah contoh negara kecil dengan penduduk tidak lebih dari 23,5 juta jiwa yang bisa membangun industri dalam negeri berbasis high-tech. Bahkan negara pesaing harus mengakui keunggulan microchip dan memory buatan Taiwan. Pertumbuhan ekonomi Taiwan didukung oleh kekuatan industri nasional berbasis teknologi yang mampu bersaing di pasar global sehingga bisa membantu penambahan angka GDP secara signikan.

Di dalam mengembangkan ‘hitech’ nasional, perlu dibuat peluang dan suasana yang kondusif bagi PMA untuk investasi industri di Indonesia. Meskipun pemerintah telah menyediakan kluster-kluster industri di beberapa daerah berkembang, namun pada kenyataannya semua industri tersebut di atas hanya sanggup menjadi industri berbasis produksi (production based industry). Ini lebih menguntungkan PMA industri, karena bisa leluasa memakai tenaga kerja produktif lokal dengan gaji murah dibanding standar UMR internasional.

Kegagalan mendapatkan cipratan teknologi dari PMA industri untuk pengembangan teknologi nasional, bisa disebabkan karena belum adanya cetak biru industri dan teknologi Indonesia jangka panjang. Kebijakan industri dan teknologi tidak masif, sehingga selalu silih berganti sesuai sistem kekuasaan. Pun demikian, tidak dilakukan proses sosialisasi yang sanggup memberikan arahan strategis industri dan teknologi nasional.

Kegagalan cipratan teknologi ini juga karena belum adanya regulasi yang mewajibkan investor industri untuk memberikan sharing investasi teknologi, baik SDM maupun dana untuk kegiatan new development dengan keharusan menyertakan tenaga kerja lokal. Mudahnya, ketika ada perusahaan asing yang mendirikan pabrik di Indonesia, maka harus memberikan komitmen paling tidak 30% staf lokal untuk kegiatan R&D. Staf lokal ini bisa ditempatkan di dalam negeri maupun di luar negeri tempat PMA berasal.

Dengan kebijakan ini, PMA industri tidak lagi beroientasi industri untuk produksi saja, tetapi mendorong shifting menuju industri berbasis teknologi (technology based industry), sehingga proses alih teknologi bisa berjalan efektif.

Kedua, menggesa terbentuknya Industri berbasis knowledge society.Shifting industri berbasis produksi ke industri berbasis teknologi tidak tercapai apabila tidak didukung dengan intellectual capital yang memadai. Di sini pemerintah ditantang untuk memiliki kemampuan dalam membentuk masyarakat terpelajar atau intellectual society. Cakupan masyarakat terpelajar ini adalah setiap rakyat yang menjadi tanaga kerja produktif maupun yang akan menjadi tenaga kerja produktif. Untuk membentuk masyarakat intelektual ini bisa dengan mengembangkan model SECI (Ikujiro Nonaka) yaitu siklus yang terdiri dari sosialisasi, ekternalisasi, kombinasi dan internalisasi, yang disesuaikan dengan karakter, moral dan budaya bangsa.

Proses pembentukan masyarakat intelektual untuk mendukung shifting industri berbasis teknologi seperti yang dipaparkan di atas akan menjadi pendorong proses spiral dalam transfer teknologi di industri dan peningkatan pengalaman industri nasional. Sehingga dalam kurun waktu tertentu yang dibatasi oleh kebijakan pemerintah, industri akan bergerak dan maju secara serempak. Pergerakan industri ini didukung dengan kemajuan pengalaman intelektual, professional dan kompetensi tenaga kerja nasional (intellectual capital).

Kesimpulan

Industri nasional tidak bisa berjalan tanpa dukungan pertumbungan ekonomi makro yang sehat, terutama kestabilan dunia perbankan. Peningkatan pendapatan domestik bruto (PDB) tidak meningkat tanpa ada pertumbuhan riil di sektor industri. Tarik ulur dua kutub ini tidak akan berhenti sehingga dibutuhkan komitmen sekaligus disiplin dalam pembentukan masyarakat industri yang sesuai dan seirama dengan kecepatan ekonomi nasional.

Ini menjadi tantangan sekaligus harapan, menyikapi kegamangan keinginan meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun tidak didukung oleh pemenuhan dan penyerapan tenaga kerja nasional yang kompeten. Selamat membangun era baru industri Indonesia.

Oleh: Marsudi Budi Utomo, 

Wakil Ketua Bidang Teknologi, Industri dan Lingkungan Hidup, DPP PKS
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI