Intoleransi Digital

| Jumat, 31 Desember 2021 | 08.59 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com -  Dalam riset tahun 2019 yang dikutip oleh Resa (2020) dari portal daring “Cuponation”, jumlah pengguna Facebook di Indonesia sebanyak 120 juta melebihi Filipina, Inggris, Turki, Meksiko dan Thailand. Pengguna Instagram mencapai 56 Juta peringkat empat di dunia. Ditambah lagi, pada masa Pandemi Covid-19 yang memaksa kita untuk beraktifitas secara digital.

 
Adalah Aktifitas digital pilihan bagi masyarakat ketika pembatasan kegiatan masyarakat di Indonesia diterapkan. Penerapan pembatasan aktifitas sosial (lockdown) mendorong masyarakat untuk beraktifitas digital secara masif dari segala aspek interaksi sosial, baik agama, pendidikan, perekonomian, perdagangan bahkan menyangkut hal pribadi. Internet sebagai media sosial, memudahkan pengguna untuk mengakses setiap saat dimana pun berada. Masyarakat bekerja, belajar dan berbelanja di rumah secara digital.
 
Namun, dibalik kemudahan aktifitas digital terdapat potensi penyalahgunaan interaksi sosial, yaitu intoleransi digital. Akibatnya, masyarakat digital mudah untuk mencaci, menghujat,  memberikan informasi bohong (hoax) yang tak jarang konten mengarah kepada isi pemahaman yang bersifat radikalisme. Mereka mudah mengekspresikan ketidakpuasan dan kekesalan di media sosial berupa aktifitas digital dalam bentuk comment, posting, like, atau unggah video. Direktur Riset Setara Institut, Halili Hasan (Media, 2020), melaporkan terdapat peningkatan kasus intoleransi yang signifikan dalam lima tahun terakhir (2015-2020). Dia menambahkan, lima provinsi yang tertinggi kasus intoleransi di Indonesia, yaitu Aceh sebanyak 65 kasus, Jawa Tengah sebanyak 66, Jawa Timur sebanyak 98 kasus, DKI Jakarta sebanyak 113 kasus dan yang tertinggi kasus berada di Jawa Barat sebanyak 162 kasus.
 
Intoleransi digital lahir dari krisis jati diri di setiap individu dan golongan dalam kehidupan digital. Krisis jati diri terlihat dari perilaku anti-sosial. Ketika menggunakan gadget, masyarakat digital merasa hidup dalam masyarakat dan identitas baru. Terkadang perilaku mereka berbeda antara interaksi di kehidupan sehari-hari dan media sosial. Perilaku ini dimanipulasi dan kesempatan pada penggunaan gadget yang tidak dapat diketahui identitas dan jati diri. Identitas baru di media sosial membuat orang memiliki jati diri baru yang tidak dapat dikenal orang lain. Perilaku ini kita kenal dengan anonymus.
 
Digital Natives
 
Anonymus atau anonimitas awalnya digunakan untuk tulisan yang tidak diketahui. Goddyn (2001) mengelompokkan pada tiga batasan yaitu sinonim, negatif dan leksikal. Batasan leksikan dimaknai hal yang tidak dapat diidentifikasi. Batasan anonimitas pada sinonim menunjukkan pada sesuatu yang tanpa nama. Terakhir batasan makna negatif lebih pada prilaku anonimitas yang dianggap kebohongan identitas pribadi atau identitas lain yang tidak diakui.
 
Pelaku anonimitas mendorong perilaku tidak terkontrol. Dia memiliki nafsu kebebasan tanpa nilai dan norma. Dia akan lepas tangan dan cenderung tidak bertanggung jawab berperilaku intoleransi digital, seperti berkomentar seenaknya, mencaci, menyebarkan kebohongan, menimbulkan konflik, dan upload video informasi bohong. Penelitian yang dilakukan Douglas dan McGarty mendapatkan kesimpulan, pengguna akun anonimitas berpotensi besar dalam penyampain ujaran kebencian, emosional dan kasar. Berbeda dengan Chiou pelaku anonimitas cenderung mudah mem-posting konten berbau pornografi dan tindakan pelecehan seksual. (Chang, 2008) Secara psikologis pengguna yang memakai akun “real” cenderung berperilaku positif sebaliknya pengguna akun “anonym” cenderung berperilaku negatif. (Omernick & Sood, 2013)
 
Aktifitas digital yang dilakukan anonimitas berperilaku anormatif dan intoleran yang memiliki paham kebebasan tanpa batas, bukanlah kekebasan menurut hukum. Pasal 28 J ayat (1) dan (2) dalam konsititusi kita mengakui batasan kebebasan dengan berprinsip pada pengormatan hak dan kebebasan orang lain.
 
Informasi yang disebarkan anonimitas dalam berbagai aktifitas digital akan ditelan mentah-mentah oleh masyarakat dalam era digital dikenal dengan digital natives. Digital Native memiliki kesejangan literasi digital dalam mengadapi persoalan beradaptasi pada perangkat dan konpetensi baru. Di sisi lain, pengguna digital natives lebih banyak dari digital immigrants. Terbukti dari Digital 2019: Indonesia (2019), dimana 59% pengguna media sosial pada umur 17-34 tahun, ditandai sebagai digital native, dan 20% berasal dari umur 45-65 tahun.
 
Generasi natives lebih banyak beraktifitas digital daripada immigrants. Mereka lebih adaptif dengan teknologi informasi. Bagi generasi natives, kehidupan di dunia digital sama halnya dengan di dunia nyata. Mereka mengidentifikasi akun yang dimiliki sebagai identitas permanen dan jati dirinya, dimana dunia digital meraka mengkonsumsi dan meng-update secara bersamaan.
 
Di sisi lain, mereka centerung terlalu percaya diri pada tingkatan kemampuan literasi digital. Sehingga tidak sadar akan kelemahannya dalam pemahaman informasi dan berita. Mis-interpretasi informasi digital pada mereka, terjadi pada kelemahan dalam membedakan informasi yang dapat dipercaya atau tidak. Dalam Jurnal Communications yang ditulis Devie dkk. (2020), para digital natives menjadikan media sosial sebagai sumber berita. Media sosial dianggap sebagai media informasi yang dapat dipercaya, meragukan informasi dari para orang tua mereka. Informasi yang dapat dipercaya, meraka dapat dari tauladan digital (patron). Tauladan digital yang mereka yakini adalah selebriti digital atau individu populer. Perilaku tauladan digital dijadikan referensi sebagai proses berpikir, adaptasi dan evaluasi berita dan informasi yang mereka dapatkan.
 
Penangkal Intoleransi Digital
 
Patron anonimitas yang cenderung berperilaku intoleransi dan anormatif, berdapak perangaruh besar pada ide, pemikiran dan sikap bagi digital native. Misi pengembangan SDM yang diemban Pemerintah yaitu “SDM Unggul Indonesia Maju”, terancam gagal. Sumber daya manusia yang unggul, terbebas dari intoleransi dan anti sosial hanyalah sebuah keniscayaan. Penanggulangan intoleransi digital dibutuhkan strategi peningkatan kapasitas literasi digital.
 
Wakil Meteri Agama, Agama Zainut Tauhid (2021), mengatakan tahun 2022 merupakan momentum kebangkitan semangat toleransi dalam menjaga kerukunan beragama. Semangat ini sejatinya seiring dengan peningkatan kapasitas literasi digital bertujuan untuk meminimalisir kesenjangan digital (digital divide). Kapasitas literasi digital merupakan kemampuan membaca dan menulis pada informasi digital. Diperlukan peningkatan digital natives yang dapat memahami berita dan informasi secara kritis dan solutif terhadap isu-isu dan persoalan yang terjadi. Pola pikir digital native yang kritis, bijak dan tidak tergesa-gesa dalam memahami teks digital.
 
Selain kapasitas literasi digital yang harus dijadikan alat penangkat Intoleransi, menurut Rastati (2016) juga harus memiliki etika berinternet yang diakronimkan dengan “PIKIR” kepanjangan dari Penting, Informatif, Kebaikan, Inspiratif, dan Realitas. (i) apakah itu Penting? (ii) apakah itu Informatif? (iii) apakah itu Kebaikan? (iv) apakah itu Inspiratif?, dan (v) apakah itu Realitas?.

Oleh: Jamil Mubarok

Mahasiswa Program Doktor STIK-PTIK


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI