Membangun Kebudayaan

| Kamis, 16 Desember 2021 | 09.10 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Bangsa yang  berbudaya itu terlihat dari prilaku elit di negeri itu. Karena itulah ukuran paling nampak dari sekian variable kebudayaan lainnya. 


Misalnya; apakah seorang Presiden suka memberi bingkisan kepada rakyatnya dengan cara melemparkannya dari dalam mobil. Kenapa ini bisa menjadi indikator kebudayaan? Karena tentu seorang Presiden, kepala pemerintahan sekaligus kepala negara adalah sosok yang paling memahami budaya bangsanya. Sehingga kebiasaan memberi bingkisan dengan cara melemparkannya dari dalam mobil dapat disebut sebagai budaya bangsa. 

Jika bukan budaya Bangsa (dan tentu saja ada pendapat demikian), maka apa yang dilakukan oleh Presiden itu dapat disebut tidak berbudaya. Tapi kesimpulan bahwa Presiden/Kepala Negara seorang yang tidak berbudaya tentu bisa menjadi keprihatinan nasional. Alangkah celakanya Bangsa besar ini dipimpin oleh orang tuna budaya.

Misalkan lagi, setiap muncul seorang Menteri marah! menggertak dan memaki-maki bawahannya, mempermalukannya di depan publik. Atau pura-pura memungut batu sambil dipayungi ajudannya di sekitar warga yang terdampat erupsi. Jika sekali-sekali marah dan dilakukan dengan cara yang elegan dengan tetap menjaga sisi kehormatan bawahan, dengan tidak mempermalukannya di depan publik, saya kira masih bisa kita sebut bahwa sang Menteri itu bertindak tegas. Dan tegas adalah salah satu ciri pejabat yang tahu budaya kepemimpinan. Tapi kalau setiap kali tampil maraaah saja terus-menerus, itu artinya orang itu tidak punya budaya, tuna budaya.

Maka tambah celakalah bangsa itu, jika kepala negara dan pembamtunya tuna budaya.

Problem pembangunan kebudayaan kita, memang perlu dipikirkan lebih serius. Sejauh mana nilai-nilai luhur (agama, hikmah, filsafat, dan ilmu pengetahuan) telah terkristalisasi dalam turut memberi andil dalam proses pembamgunan kebudayaan nasional kita. Proses enkulturasi ini memerlukan pembiasaan, pentradisian, dan tentu saja social educate amat sangat erat kaitannya dengan ada keteladanan dari para tokoh Nasional, karena prilaku meraka, akhlak dan moral mereka adalah kawah candradimuka dalam pembangunan kebudayaan.

Kebudayaan pada umumnya diwariskan. Pewarisan dilakukan melalui serangkaian tindakan, baik yang terprogram maupun tidak terprogram dalam rangcangan pembangunan. Proses pewarisannya sendiri melibatkan para publik figur di dalam masyarakat. Maka para pejabat publik, para agamawan, seniman (artis) guru, pimpinan organisasi sosial maupun politik, semua itu adalah agen kebudayaan.

Di tangan merekalah proses pewarisan budaya itu berlangsung kepada generasi yang lebih muda, atau kepada para pewaris bangsa. Bagaimana wajah, dari prilaku para elit pemerintahan, maupun elit dari civil society amat berperan dalam mewarnai proses pewarisan nilai-nilai kebudayaan. Budaya yang terwariskan dapat bernilai tinggi dan sebaliknya bernilai rendah. Bernilai tinggi jika menaikkan harkat dan martabat kemanusiaan, dan bernilai rendah jika menurunkan harkat dan martabat kemanusiaan.

Nampaknya dalam banyak hal, sadar atau tidak proses pewarisan budaya yang berlangsung bernilai rendah. Kita bisa sebut misalnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme masih sangat dominan. Demikian halnya budaya musyarawarah, budaya politik demokrasi, budaya tertib dan disiplin dalam penegakan hukum. Semuanya masih dalam stsdium rendah. 

Sebab itulah penting untuk membincang lagi proses pembangunan kebudayaan nasional kita.

Oleh: Hasanuddin
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI