Bernasindonesia.com - Mengapa di era pandemik, 4 lembaga ini tetap mencari momen secepatnya menyatukan kekuatan melindungi hak cipta? Justru di era pandemik, pelanggaran hak cipta, hak para kreator, hak penulis, hak seniman, terjadi lebih signifikan. Lebih massif. Lebih terbuka. Lebih gila.
Hari ini, Rabu 8 Desember 2021, di hari pertama Indonesia International Book Fair (IIBF), sebuah MOU kerjasama penting ditanda- tangani.
Dihadapan tiga lembaga pemerintah selaku pemangku kebijakan (wakil dari Kemenparekraf, Kemendikbud, dan DJKI), empat lembaga diwakili pimpinan tertingginya menyatukan kekuatan bekerja sama.
Empat lembaga itu: Perkumpulan Reproduksi Cipta Indonesia (PRCI, Kartini Nurdin), Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI, Arys Hilam Nugroho), Wanita Penulis Indonesia (WPI, Free Hearty), dan Perkumpulan Penulis Indonesia (Satupena, Denny JA).
-000-
Berdasarkan data dari Analytics Firm Muso, streaming ilegal untuk film saja, di era Covid-19 justru meningkat hingga 33 persen (1).
Meningkatnya tekanan hidup di era pandemik, membuat publik luas semakin perlu hiburan. Itu justru ikut mendorong publik luas mencari film yang bisa ditonton gratis, walau dengan cara pembajakan.
Kerugian yang diakibatkan oleh maraknya pelanggaran copy rights untuk streaming sungguh mencolok. Hanya di Amerika Serikat saja, kerugian per tahunnya mencapai 30 billions USD. Itu setara dengan 420 Trilyun rupiah (2).
Jika diperluas termasuk di dunia non-streaming, kerugian akibat pembajakan di era digital pertahunnya mencapai 229 billions USD. Itu setara dengan sekitar 3200 Trilyun rupiah.
Pembajakan ini merugikan secara langsung 2.6 juta penduduk Amerika Serikat yang bekerja di dunia kreatif industri.
Sejak tahun 2011, para aktivis copy rights dibantu ahli hukum sudah mengajukan pengesahan UU melawan ini. Antara lain: Protect Property Act (PPA) dan Stop Online Piracy Act (SOPA).
Kini 10 tahun sudah proses legalisasi itu dijalankan. Tapi belum kunjung berujung pada hasil memuaskan. Penyebabnya justru begitu banyak publik luas merasa diuntungkan dengan kemudahan pembajakan di era digital ini.
Inilah ironi kisah pembajakan. Para kreator justru berhadapan dengan publik luas. Lebih ironi lagi jika politisi dan aparat hukum bersikap pasif saja.
-000-
Indonesia mengalami kompleksitas pembajakan di era digital yang serupa. Bisa kita baca data yang disampaikan IKAPI, hanya untuk dunia perbukuan.
Di tahun 2019, Ikapi menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit. Nilai potensi kerugian hanya dari 11 penerbit akibat pelanggaran hak cipta mencapai angka Rp116,050 miliar. (3)
Data yang dikumpulkan, dari buku yang beredar, sebanyak 54.2 persen penerbit menemukan buku produksi mereka dibajak. Para pembajak itu bahkan melenggang menjualnya secara online.
Penerbit asli tak akan mampu bersaing dengan pembajak. Di samping mereka pandai mengkemas produk bajakan itu, mereka pun berani menjualnya kurang dari separuh harga resmi.
Kesulitan permanen dari kultur pembajakan ini, apalagi di Indonesia, karena publik luas memang merasa diuntungkan. Sementara UU yang ada menjadikan kasus pembajakan ini hanya delik aduan.
Aparatur hukum hanya bertindak jika ada aduan. Perusahaan online yang ikut menyediakan lapak bagi pelaku bajakan hanya diwajibkan menghapus lapak itu dari platform mereka, jika terbukti itu memang karya bajakan.
-000-
Di era konvensional ataupun digital berlaku prinsip yang sama. Mereka yang berkarya secara kreatif perlu dilindungi. Mereka berhak memperoleh reward ekonomi dari hasil karya mereka.
Harus ada badan dan lembaga yang bekerja untuk melindungi kerja kreatif warga negara dari pembajakan.
Sejak hari pertama saya dipilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Persatuan Penulis Satu Pena dan Himpunan Penulis Hati Pena, isu pembajakan menjadi perhatian utama.
Dalam 7 Program Unggulan yang saya canangkan, puncaknya membentuk Tim Kerja yang khusus dan fokus. Tim ini hanya berupaya sebisanya ikut menciptakan iklim penulis yang sehat dari persoalan pembajakan, royalti dan pajak.
Gayung bersambut. Empat lembaga hari ini, Rabu 8 Desember 2021, dalam momen penting Indonesia International Book Fair, sebuah united front dideklarasikan. Ibarat burung yang akan lepas terbang tinggi, momen tanda tangan MOU itu adalah kepak sayap pertama burung itu. ***
Oleh: Denny JA