Syamsuddin Radjab Bilang UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK Ibarat Anak di Luar Nikah

| Kamis, 09 Desember 2021 | 10.21 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Undang-Undang Cipta Kerja setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ibarat seorang anak yang dihasilkan tanpa melalui ijab kabul pernikahan secara sah. 


Hal tersebut disampaikan pakar hukum tata negara Alauddin Makasar, Syamsuddin Radjab, saat menjadi narasumber diskusi publik bertajuk “Ambiguitas Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 Tentang Uji Formil Undang-Undang Cipta Kerja” di sekretariat PB HMI, Jakrta Selatan, Senin (6/12/2021).

Menurutnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tersebut sadari awal sudah bermasalah. Sebab, kata dia, proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak sesui dengan UU Nomor 12 tahun 2011. Putusan MK soal UU Cipta Kerja ini adalah inkonstitusional bersyarat. Dan putusan MK memerintahkan DPR dan pemerintah melakukan perbaikan dalam kurun waktu dua tahun. 

“Saya mengatakan bahwa UU Cipta Kerja setelah putusan MK, itu ibaratnya anak di luar nikah. Artinya apa, kalau anak di luar nikah itu tidak punya hak harta warisan, tidak mewarisi gimana untuk negara ini ke depan.  Orang tuanya, DPR dan pemerintah, itu tidak sah di dalam melakukan perikatan hubungan, terutama didalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kalau tidak sah, tidak boleh dong menjadi acuan di dalam pelaksanaan terhadap 11 klaster (UU Cipta kerja) yang diatur itu,” katanya. 

Menurutnya, waktu dua tahun yang putuskan oleh MK dalam perbaikan UU Cipta Kerja tersebut jangan dianggap ringan. Sebab, katanya, UU Cipta Kerja pasca putusan MK ini harus dibuat dari nol lagi. Misalnya, secara formil pembuatan UU harus disiapkan naskah akademiknya, transparansi, pelibatan partisipasi masyarakat, dan sosialisasi dari pemerintah. Menurutnya, jika pembuatan UU tidak sesuai dengan tata cara peraturan peraturan perundang-undangan, maka UU yang dibuat dan disahkan DPR-pemerintah kelak akan bermasalah. 

“Ini kita masih belum masuk meterilnya, subtansinya dari isi UU Cipta Kerja. Hanya kulitnya, hanya pintunya saja,” katanya. 

“Harus kita pahami bahwa dua tahun itu (perbaikan UU Cipta Kerja) memformat ulang proses tata cara pembentukannya. Ii kita blum bahas isi materinya. Ini baru tata cara yang baru dibongkar MK. Kalau kita masuk pada isi, materi atau subtansi, dampaknya bisa kemana-mana,” tambah Syamsuddin. 

Syamsuddin menilai putusan MK tentang UU Ciptaker bukan hukum murni, tapi ada sisi, hukum, politik dan ekonomi. Makanya, kata dia, MK memutuskan inkonstitusional bersyarat karena jika UU Ciptaker ini diputus inkonstitusional maka dampaknya akan besar dari sisi ekonomi. 

“Kalau langsung dicabu dampaknya memang besar, para investor yang sudah masuk sejak pengesahan UU ini, itu investor yang masuk pasca pengesahan ini, mungkin pada kabur keluar, meninggalkan Indonesia,” tukasnya. 

Dalam kesempatan itu, Syamsuddin juga menyentil Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurutnya, Airlangga jangan hanya menyampaikan poin empat putusan MK kapada publik. Amar putusan MK harus dibaca dan disampaikan secara utuh. 

“Pemerintah sih senang kalau dengan komentar saudara Airlangga, karena poin ke eempat itu yang dibacakan bahwa UU Cipta Kerja ini masih diakui, masih tetap bisa berjalan. Lah, iya coba baca amar putusan MK itu secara lengkap, supaya jangan juga kesannya membodohi masyarakat, seolah-seolah yang ingin diciptakan bahwa ini tidak ada masalah, karena anda baca hanya point empatnya, baca poin 1 sampai selesai. Itu caranya mendidik rakyat, supaya rakyat juga berpikir secara hukum, jangan seolah-seolah menihilkan putusan MK. Ini problem, yang kadang-kadang dimunculkan oleh pemerintah yang sejatinya tidak mendidik hukum masyarakat,” tuturnya.  

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI