Pemimpin dan Ilmu Pengetahuan

| Senin, 11 Juli 2022 | 00.55 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Kebijaksanaan, kesuksesan, kewibaan seorang pemimpin amat sangat ditentukan bagaimana seorang Pemimpin (dimanapun memimpin), memanfaatkan ilmu pengetahuan. Apakah seorang pemimpin menggunakan ilmu pengetahuannya untuk kemaslahan umum, ataukah hanya bagi kelompoknya saja. 


Para Hakim Mahkamah Konstitusi misalnya; mereka terdiri atas orang-orang yang telah mencapai jenjang pendidikan akademik tertinggi. Memiliki pengalaman panjang baru sampai kepada kedudukannya sebagai Hakim Konstitusi. Namun nampaknya ilmu yang mereka miliki belum mereka gunakan untuk kemaslahan umum. Tuntutan agar Presidential Treshold (PT) mereka respons dengan tidak menggunakan ilmu pengetahuannya bagi kemaslahatan umum. Sehingga sejumlah orang menyebut mereka sebagai _the quardian of oligharch_ (pengawal para oligharki). Akibatnya mereka dihinakan oleh publik, kehilangan kewibaan. 

Demikian misalnya yang terlihat dari pengerahan seratusan lebih aparat kepolisian bersenjata lengkap hanya untuk menangkap seorang terduga pelaku pelecehan seksual di Jombang. Yang ujung-ujungnya hanya dengan diplomasi saja, Ayah dari terduga pelaku menyerahkan sendiri putranya. Langkah kepolisian itu, sesuatu yang nampak sekali dilakukan tanpa dukungan ilmu pengetahuan yang memadai. 

Pertamina, perusahaan milik negara dengan berbagai "keanehan"-nya, nampaknya telah dijalankan oleh managemen yang tidak memiliki kecukupan pengetahuan, dan atau bisa jadi juga dengan sengaja tidak memanfaatkan pengetahuannya untuk kepentingan publik. Kenapa kepentingan publik mesti di utamakan oleh Pertamina dan para BUMN itu? Karena amanat konstitusinya berbunyi demikian, "untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Bukan sebaliknya, sekencang-kencangnya mempersulit rakyat.

Pemerintah Pusat dan DPR tak kala menyebalkannya dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan. Misalnya dalam RUKUHP mereka membuat rancangan (yang akan disahkan) untuk memberangus partisipasi publik dalam pembangunan dalam bentuk penyampaian pendapat di muka umum. Dengan tidak memberikan kriteria yang terukur tentang defenisi "kritik", defenisi "melakukan penghinaan" di muka umum.

Kementerian agama dalam menentukan hari-hari besar keagamaan. Nampaknya juga sangat abai dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan. 

Sebab itulah, catatan ini dipandang perlu untuk menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa ilmu pengetahuan itu "dituntut" agar mendatangkan kemaslahatan umum, memudahkan urusan umat manusia, memajukan kesejahteraan umum, sebagai bagian dari proses pembangunan masyarakat yang beradab, sebagaimana para founding fathers bangsa menuliskan dalam preambule UUD 1945, "mencerdaskan kehidupan Bangsa".

Ilmu yang tidak dimanfaatkan demi kemaslahatan umum, akan mendatangkan malapetaka. Dan oleh sebab itu, kelak; ilmu akan menuntut manusia atas penyalagunaan mereka terhadap ilmu pengetahuan.

Tengoklah sejarah peradaban manusia, dan temukan apa dampak dari ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan demi kemaslahatan umum, dan sebaliknya apa dampak pemanfaatan ilmu pengetahuan demi memperkuat, menjaga dan mengawal oligharki kekuasaan. 

Demikianlah, masa depan peradaban ditentukan oleh bagaimana ilmu pengetahuan dimanfaatkan dengan penuh hikmah kebijaksanaan.

Tujuan catatan ini sekedar mengingatkan kepada para pemimpin agar bijaksana dalam menggunakan ilmu pengetahuan, sebab itu tidak perlu panjang lebar di uraikan. 

Semoga Allah swt senantiasa memberikan bimbingan-Nya kepada kita dalam mensyukuri nikmat ilmu pengetahuan yang telah diberikan-Nya.

Oleh: Hasanuddin


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI