Ichan Loulembah Yang Semakin Hidup

| Senin, 07 Agustus 2023 | 05.06 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Begitu banyak kawan Ichan Loulembah menghadiri acara peringatan kematiannya di aula kampus Universitas Paramadina sore ini. Dari kerumunan itu terlihat lebarnya spektrum pertemanannya — pengusaha, politisi, peneiliti sosial-politik, seniman, aktifis LSM, meski yang terbanyak tetaplah mereka yang serumah dengannya di pendopo besar HMI. 


Mereka semua membaur, berbincang santai dan penuh tawa, saling melepas kangen karena terlalu lama tak bertemu di darat, seakan mengikuti saran Chairil Anwar: cukuplah sedu sedan itu. Point of reference mereka sore itu adalah Ichan, yang semakin hidup justeru dengan kepergiannya. 

Acara meriah yang dikomandani Tatat Rahmita Utami ini dikemas dengan semangat gembira, sesuai watak dasar Ichan sendiri, yang selalu optimistis, dan selalu berupaya meredam kesedihan dan kegelisahan manusiawinya. Bahkan setelah kepergiannya, ia terus merekatkan banyak orang dari berbagai kalangan — termasuk dengan isterinya, Dessy, dan ketiga anaknya, Fafa, Hafez dan Idell. 

Sejumlah kesaksian tentang Almarhum cukup menggambarkan bagaimana sosok Ichan sebagaimana yang mereka kenal dan akan selalu mereka kenang. 

Ika, tetangganya di Bintaro, menceritakan bagaimana Ichan selalu peduli dengan anak-anak Ika dan lingkungan mereka di kompleks Kuricang, Bintaro. Ia bahkan pernah bersedia menjadi Ketua Rukun Warga. Ichanlah yang, menurut Ika sambil susah-payah menahan tangis, yang merekatkan hubungan antar warga, termasuk melalui grup WA yang sangat aktif.

***

Buddy Ace, temannya sejak di SD di Palu, bercerita betapa majunya pikiran Ichan. Di SMA ia membentuk geng “Madness”, diambil dari nama grup punk rock Inggris — yang namanya pun belum pernah didengar oleh semua anggota geng yang lain. Pada usia 20, setelah beberapa tahun berlatih di “radio amatir”, ia mendirikan Nebula, radio berfrekuensi FM pertama di Palu, dan sampai hari ini masih aktif.

Tetapi yang menarik adalah ide di balik
pembentukan Nebula. Ichan sejak lama merasakan semacam “penjajahan budaya” atas warga SulawesiTengah, yang berbasis budaya dan bahasa Kaili. 

Sehari-hari bahasa pergaulan mereka sangat diwarnai gaya Manado. Di kampus Universitas Tadulako, yang dominan adalah ragam bahasa Bugis-Makasar, karena banyak dosen yang berasal dari Sulawesi Selatan (termasuk Prof. Matulada, yang pernah menjabat Rektor, dan sangat dikagumi oleh Ichan).

Ia bertekad melakukan perlawanan budaya terhadap dominasi bahasa itu. Tapi bagaimana caranya? Tidak ada yang tahu, meski semua kawannya sepakat bahwa memang “rasa terjajah” itulah yang mereka rasakan. Ia punya jawaban: perlawanan melalui sarana “pop culture”. Mediumnya: siaran radio. Lalu dia menyeleksi satu per satu calon penyiar, yang tidak harus bersuara bagus, sebab yang penting adalah mereka bisa menyajikan “spirit Kaili” yang kuat. 

Maka acuannya antara lain Radio Prambors Jakarta (memang sangat banyak radio daerah yang merujuk radio Menteng yang berpusat di Jalan Prambanan-Borobudur ini, karena itu “Prambors”). Rupanya dalam pikirannya, lebih baik pendengar Nebula FM disuguhi ragam bahasa “Menteng-Kebayoran” yang toh bernuansa ibukota negara, daripada didominasi ragam Manado-Bugis-Makasar. 

***

Rektor IPB Arif Satria bercerita bagaimana ia, belum lama kembali dari kuliah di Jepang pada 2006, diminta Ichan untuk menjadi ketua steering committee Kongres 1 Kahmi-Pro. Acara itu menyempal dari kelaziman. Semua calon pembicara, yang punya nama besar ataupun belum dikenal publik, diperlakukan sama. 

Selain semua wajib mengirimkan abstrak makalah yang akan mereka bawakan, untuk diseleksi ketat dan kemudian banyak yang gugur, semua pembicara juga harus membayar untuk bisa tampil. Ada satu lagi yang berbeda: Kongres tidak memerlukan pejabat negara untuk membukanya atau untuk menyampaikan pesan utama. Keynote speech disampaikan oleh Ichan — atas desakan Arif dkk. Ia menyajikan uraian ringkas-padat tentang pentingnya visi kebangsaan. 

Kongres itu sekadar untuk mengingatkan orang, khususnya keluarga besar HMI, bahwa watak dasar organisasi kader ini adalah intelektual, keilmuan, bukan politis seperti yang selama ini dikenal. Kongres Kahmi-Pro tidak berniat membentuk Kahmi tandingan, seperti yang dicurigai banyak tokoh senior Kahmi — dan berpuluh-puluh wartawan yang kecewa karena menduga hal yang sama. 

***

Menteri BKPM Bahlil Lahadalia mengaku banyak sekali didorong oleh Ichan dalam sukses karirnya. Menjelang kongres Hipmi, Ichan khusus mendatangi Bahlil dan meyakinkannya untuk berani maju memperebutkan kursi bergengsi itu. “Saya ini anak kampung, lawannya anak orang kaya, mana berani saya melawannya?” tutur Bahlil, merujuk seorang pengusaha kaya, putera raksasa bisnis taksi.

Ichan meyakinkannya dengan sejumlah argumen, memompa rasa percaya-diri Bahlil, dan kemudian terbukti David Bahlil menang melawan Goliath Bluebird dalam kongres Hipmi yang dramatis, dan berlangsung lebih dari sebulan. Posisi Ketua Hipmi kemudian membukakan banyak pintu bagi Bahlil, sampai posisi sekarang, menjadi menteri kabinet. Ichan memang penghasut yang efekif. 

Chalid Muhammad, kawan masa kecil di Palu, termasuk korban hasutan Ichan untuk berani bertarung di Jakarta. Lalu publik mengenal Chalid sebagai salah satu pejuang lingkungan hidup terpenting di Indonesia, melalui Walhi dan berbagai kegiatan turunannya yang terus ditekuninya dengan gigih sampai sekarang. 

Suryani Motik menceritakan sisi lain, terkait bisnis, bidang yang ditekuni Yani sebagai ketua himpunan pengusaha pribumi, Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia, ketua Kadin, dll. Dengan geli Yani bertutur, dan dari situ kita bisa menyimpulkan betapa lugunya Ichan dalam urusan bisnis. 

Ia sering mengontak Yani untuk mempertemukan kenalan-kenalan mereka, mungkin di daerah-daerah lain, sehubungan adanya peluang untuk proyek-proyek bisnis. “Satu-dua bulan kemudian, Ichan ngajak ke kafe lagi, dan kami ngobrol,”  ucap Yani. “Saya tidak tahu apakah proyeknya sukses, apakah dia dapat komisi, dan dia juga tidak tanya apakah saya dapat komisi…” 

Tampaknya, kata Yani, Ichan hanya senang mempertemukan kawan-kawannya supaya mereka dapat proyek. Apakah dia sendiri kemudian ikut mendapat bagian atau tidak, rupanya ini kalah penting dibanding terbentuknya jaringan di antara kawan-kawannya yang berbisnis. 

***

Masih banyak hadirin yang berharap bisa menyajikan simpanan cerita mereka tentang Ichan. Tapi tidak mungkin aula Paramadina digunakan selama 8 jam. Acara ditutup dengan lantunan lagu favorit Ichan, “Just for You” dari Richard Cocciante. Sebelumnya dinyanyikan pula lagu persembahan untuk Ichan, yang dibuat dengan cepat oleh Arif Satria. 

Juga “What a Wonderful World”, karya klasik Louis Armstrong — kali ini dibawakan dengan sepenuh penghayatan oleh penyanyi paling terkenal di lingkungan Kompleks Ligamas Kalibata, Don Bursah Zarnubi. 

Panitia berterima kasih kepada seluruh hadirin yang menyempatkan datang, dan memohon maaf kepada kawan-kawan yang tak sempat, betapapun mereka ingin, menyajikan kisah-kisah tentang kebaikan Ichan, yang sebagian sampai pada tingkat mempengaruhi jalan  hidup mereka hingga kini. 

Kematian memang bisa mengakhiri hidup seseorang, tapi tak akan mampu menghapus nama dan kebaikannya. Ichan Loulembah adalah seorang dari jenis ini. Ia telah pergi. Tapi ia semakin hidup dengan kepergiannya. ***

Oleh: Hamid Basyaib


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI