Bernasindonesia.com - Duta Besar Australia di Jakarta, Richard Woolcott, besok akan menghadiri suatu acara budaya di Yogyakarta, dan saya ingin mewawancarainya tentang isu politik yang sedang hangat antara Australia dan Indonesia.
Tapi bagaimana cara terbaik mewawancarainya? Apa saja yang harus saya tanyakan? Pengetahuan saya tentang politik Australia hampir nol; pemahaman tentang sumber-sumber konflik antara Indonesia dan Australia tak kalah besar nolnya.
Saya bingung, tapi merasa penting untuk menginterviu Pak Dubes. Ini juga bagian dari peningkatan gengsi bagi koran “Masa Kini” dalam bersaing dengan koran-koran lokal lain yang sudah mapan.
Maka, di pertengahan 1980an itu, pukul 9 malam saya mendatangi rumah Dr. Ichlasul Amal, dosen Fisipol UGM, yang belum lama lulus dari Universitas Monash, Melbourne. Ini cara instan untuk mendapatkan bahan-bahan dasar, di tengah kesulitan memperoleh material yang saya butuhkan kala itu — tak mungkin pula saya menyusuri perpustakaan dalam himpitan waktu.
Pak Amal menerima saya dengan senang hati — ia sangat ramah; hampir setiap kalimatnya diiringi senyum di bawah kumisnya yang tak pernah tebal. Dengan bodohnya saya berterus terang bahwa saya tidak bermaksud mewawancarai dirinya, tapi sekadar meminta bahan dan masukan untuk menghadapi Dubes Woolcott besok pagi.
Pak Amal meladeni saya dengan senang hati, walau sebetulnya ia berhak untuk “tersinggung” karena sekadar dimintai bantuan untuk memberi masukan. Pasti itu untuk pertama kalinya ia dimintai bantuan serupa oleh seorang mahasiswa yang bukan mahasiswanya; dan tidak pula diperlakukan sebagai subjek wawancara.
Tapi ia terus melayani permintaan saya dengan ramah; kebaikan hatinya tak memberi tempat sedikit pun bagi dominasi egonya yang pantas ditoleransi seandainya pun muncul.
Dengan bekal dari Pak Amal itulah saya kemudian punya rasa percaya-diri yang lumayan ketika berjumpa dengan Dubes Woolcott di MMC, bagian dari studio TVRI Jogja.
Tentu saya tak sanggup untuk membuat Pak Amal lebih repot dengan memintanya menyusun daftar pertanyaan dan mengucapkannya dalam bahasa Inggris.
Biarlah saya tanggung sendiri prospek suram itu, yaitu mewawancarai diplomat asing dengan bahasa tunggang langgang — dan kondisi “Inggris belepotan” itulah yang kemudian memang terjadi (sampai sekarang saya heran: kenapa mahasiswa awal 20an tahun itu berani menginterviu seorang diplomat senior Australia).
***
Beberapa tahun kemudian giliran ia yang meminta “bantuan” saya dengan bertanya tentang Samsurizal Panggabean, sarjana yang baru lulus dari Fisipol (yang juga merangkap kuliah di IAIN Sunan Kalijaga). Ia bertanya apakah saya kenal Rizal.
Dengan bersemangat saya menceritakan panjang-lebar bahwa Rizal adalah seorang mahasiswa yang sangat pintar, yang bersama kawannya, Taufik Adnan Amal, sudah menulis buku tentang metodologi tafsir Quran menurut Fazlur Rahman.
Pak Amal berkata ia sedang mempertimbangkan untuk mengangkat Rizal sebagai asistennya untuk mata kuliah hubungan internasional. Saya menggebu-gebu mendorongnya untuk tidak ragu menjadikan Rizal sebagai asisten dosen.
Kembali saya berutang budi pada Pak Amal ketika saya mengikuti mata kuliah Metodologi Penelitian Sosial (MPS) di program S2 Ilmu Politik UGM. Kami, 18 mahasiswa — hampir semuanya dosen di universitas masing-masing — diminta untuk menyusun proposal penulisan tesis.
Semua mahasiswa yang mendapat giliran lebih dulu tak ada yang lolos dari kritik Pak Amal. Mereka semua menerima aneka kritik itu, bukan karena mereka takut pada Pak Dosen, tapi karena butir-butir kritik Pak Amal memang tepat dan tajam, meski ia sampaikan dengan lembut dan senyum. Ia memang guru yang sabar — termasuk saat memarahi muridnya.
***
Saya mengajukan rencana tesis berupa sorotan terhadap Kementerian Sekretariat Negara sebagai superbirokrasi. Waktu itu, rasanya sejak di masa Menteri Sudharmono, Sekretariat Negara adalah sebuah “clearing house” yang sangat efektif untuk mengendalikan seluruh birokrasi pemerintah. Kantornya bersebelahan dengan Bina Graha, ruang kerja Presiden Suharto, dan melalui Setneg ia mengontrol dengan efektif seluruh gerak-gerik semua kementerian.
Departemen apapun yang ingin mengajukan rancangan undang-undang, harus meminta arahan dari Setneg. Setelah draft jadi, harus disetor dulu ke Setneg sebelum diajukan ke forum DPR. Lalu Setneg-lah yang mengajukannya ke Senayan.
Dan ini yang tak kurang pentingnya: semua tender proyek pemerintah yang bernilai di atas Rp 500 juta, wajib dilaporkan dan disetujui oleh Setneg.
Sebagian besar bahan untuk rencana tesis saya merupakan gosip dan rumor. Cukup banyak ilustrasi yang saya ajukan di forum kelas itu untuk mengindikasikan betapa besarnya kekuasaan Presiden Suharto dan keluarganya — yang semuanya juga terkait erat dengan kerja Setneg.
PDI dan PPP bukanlah partai politik, melainkan “Presiden Dan Isteri” dan “Putera-Puteri Presiden”. Toshiba bukan merek barang elektronik Jepang, tapi “Tommy, Sigit, Bambang” — merujuk nama tiga putera Presiden yang sangat sering disebut dalam obrolan gelap para aktifis politik, yang sudah lama jengkel tapi hanya mampu berbisik-bisik tentang desas-desus.
Hampir semua kawan mahasiswa saya mengritik pendekatan yang saya ajukan — mendasarkan tesis pada gosip politik. Mereka bilang, bagaimana mungkin sebuah tesis akademis yang selayaknya “ilmiah” didasarkan pada rumor?
Saya menangkis bahwa rumor politik itu penting sebagai alat untuk turut menjelaskan suatu fenomena politik, menurut teori “histoire des mentalites” dari sejarawan Prancis Fernand Braudel dkk. Bagi Braudel, monumen dan patung — terutama buatan pemerintah — yang bertebaran di seantero negeri juga bermakna penting untuk melihat bagaimana suatu peristiwa dimaknai, bukan hanya dicatat dan dialami.
Bahkan juga grafiti yang dibuat oleh para remaja iseng di tembok bangunan-bangunan publik; slogan-slogan yang mereka ciptakan, kata-kata yang mereka tulis dalam desain kaos oblong, dan sebagainya. Semua itu merupakan celah jendela atau indikator dari apa yang disebut Braudel “sejarah mentalitas.”
Sebagai dosen pengampu, Pak Amal membela posisi akademis saya. “Dalam sistem politik tertutup seperti Indonesia,” katanya, “orang tidak mudah mendapatkan informasi politik yang penting dan relevan. Sering tindakan mencari informasi seperti itu sangat berisiko. Dalam situasi seperti itu, seorang peneliti tidak boleh kehabisan akal dan sah saja untuk memanfaatkan gosip dan rumor sebagai sumber analisisnya. Apalagi jika ada landasan teorinya, seperti dari Fernand Braudel itu…”
Di luar kelas, semua kawan “gemas” dan bersungut-sungut terhadap pembelaan Pak Amal atas proposal riset saya. “Semua mahasiswa yang mengajukan proposal dikritik oleh Pak Amal,” kata mereka, “tapi kamu kok malah dia bela!” Saya hanya tertawa dan menanggapi bahwa itulah kemujuran saya sebagai mahasiswa — meskipun proposal itu hanya untuk latihan, dan saya tidak pernah mewujudkannya menjadi tesis S2 sungguhan.
***
Pak Amal kemudian menjabat dekan, rektor, kemudian Ketua Dewan Pers. Saya hampir tak pernah lagi berinteraksi dengan dosen yang rendah hati itu.
Pagi ini saya mendengar ia pergi membawa seluruh kebaikannya. Tapi beberapa di antaranya tetap mengendap di palung kenangan saya.
Ada satu teladan yang selalu gagal saya tiru dari Pak Ichlasul Amal:
bagaimana mengajukan kritik, setajam apapun, dengan ramah dan senyum.
Oleh: Hamid Basyaib