Kepemimpinan Islam Tanpa Perang dan Kekerasan

| Jumat, 13 Desember 2024 | 04.27 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Rezim Bashar Al Assad tumbang. Para pemberontak berkuasa atas Syuriah. Tema ini menyeruak minggu-minggu ini dalam diskursus dunia Islam. 


Pro kontra terhadap pihak bertikai menguat. Seakan lupa peristiwa itu terjadi antar sesama ummat Islam sendiri. Siapapun kalah-menang, ummat Islam juga yang menderita. 

Konflik Syuriah memperpanjang deretan paradoks, antara Islam dan perang/kekerasan. Islam ajaran inklusif. _*Rachmatan lil aalamin*_.  Perang atau jalan kekerasan hanya dibenarkan untuk mempertahankan diri. Juga melawan ketidakadilan. Islam tidak membenarkan pemaksakan ajaran melalui kekerasan. 

Sebagian ummat Islam sering lupa atas paradoks itu. Seakan kekerasan menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjuangan ummat Islam. Arusutama narasi perang dalam tubuh ummat Islam setidaknya ditandai tiga hal. 

_Pertama_, glorifikasi romantisisme atas kisah kejayaan ummat Islam masa lalu melalui hegomeni kekuasaan. Hegemoni itu diraih dalam kisah-kisah pertempuran. Seperti kisah Al Fatih menakhlukkan konstantinopel. 

_Kedua_, teoritisasi tentang prediksi-prediksi masa depan ummat akhir zaman. Akan adanya pertempuran besar antara kekuatan Islam dan kekuatan Dajal, serta kehadiran Imam Mahdi. 

Informasi akan adanya pertempuran Dajal - Imam Mahdi seringkali menjadi justifikasi adanya benturan-benturan dalam lingkungan ummat Islam. 

_Ketiga_, glorifikasi sentimen ke-Islaman dalam memobilisasi dukungan ummat bagi setiap konflik dalam kalangan ummat Islam tertentu. Seperti dalam kasus Syuriah: pro-kontra terhadap masing-masing pihak bertikai.  

Jika peperangan atau kekerasan tidak dibenarkan dalam penyebaran ajaran Islam, lantas apa penyebab terjadinya peperangan di kalangan masyarakat muslim?. Islam sendiri mengajarkan tidak ada paksaan dalam beragama.  


Setidanya ada tida faktor. Ialah faktor historis-politis, sosial-budaya, ekonomi. 

Faktor historis dan politis adalah perebutan rezim kekuasaan, intervensi kekuatan eksternal dengan memanfaatkan konflik faksionalisasi rezim muslim, sengketa geopolitik maupun idiologi. Faktor sosial budaya meliputi: perbedaan intepretasi ajaran agama, ekstrimisme dalam bentuk justifikasi kekerasan menggunakan agama, primordialisme: konflik identitas atau suku. Selain itu juga oleh faktor ekonomi. Ialah perebutan sumberdaya ekonomi, maupun krisis ekonomi yang berujung konflik. 

Ketiga hal itu menandakan kekerasan atau peperangan dalam dunia Islam seringkali tidak ada justifkasi religiusnya. Peperangan dalam tubuh ummat Islam justru sebenarnya dilatari motif di luar agama itu sendiri. 

Islam dibajak sebagai alat justifikasi terjadinya peperangan. Diperalat untuk membenarkan kekerasan dan peperangan. 

Ajaran Islam yang diperjuangkan melalui pendekatan struktural-konfrontatif justru meredup eksistensinya. Seperti kasus India dan Spanyol.

Selain dibelit perang dan kekerasan, termasuk dibelit konflik-konflik internal, realitas ummat Islam hari ini mengalami ketertinggalan pendidikan, ekonomi, dan teknologi.  Termasuk rendahnya implementasi *_“Islamic values”_* dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak bisa dipungkiri, _*Islamic Phobia*_ juga memang masih ada. 

Jika metode konfrontatif, perang atau kekerasan tidak bersumber pada _*Islamic values_, bagaimana masa depan kepemimpinan Islam atas peradaban?. 

Ialah melalui pendidikan dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Termasuk untuk mewujudkan keberdayaan ekonomi ummat. 

Jihad ummat Islam hari ini adalah membangun dan menyediakan sarana pendidikan yang bisa mengantarkan pada penguasaan _*Islamic values*_ sekaligus ilmu pengetahuan dan teknologi. Khususnya bagi internal ummat Islam.

Sedangkan secara eksternal, penyediaan lembaga-lembaga pendidikan untuk memudahkan seluruh ummat manusia belajar dan mengenal _*Islamic values*_. Kemudahan akses itu akan memungkinkan gelombang penerimaan terhadap *_Islamic values_* sebagaimana kasus gelombang mualaf di negara-negara barat.   

Ummat Islam hari ini berada dalam konsensus global. Bahwa beragama merupakan hak asasi. Peluang ini harus dimanfaatkan sebagai sarana transformasi _*Islamic values*_ ke segenap lapisan masyarakat global.  Tanpa harus melalui pendekatan konfrontatif.

Indonesia merupakan prototipe produk Islamisasi melalui pendidikan. Melalui pesantren-pesantren maupun lembaga-lembaga pendidikan Islam semi modern. Menjadikan negara berpenduduk terbesar ke-4 di dunia ini mayoritas beragama Islam. Transformasi ke-Islamannya tanpa melalui jalan kekerasan. 

Melalui pendekatan edukasi, Islam akan diterima tanpa resisten. Melalui pendekatan konfrontatif, Islam akan diperlakukan sebagai _*common enemy*_. Disikapi penuh curiga. 

Sudah seharusnya pendekatan konfrontatif abad pertengahan itu ditinggalkan. Menuju kepemimpinan _*Islamic values*_ secara global tanpa kekerasan. 

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI