Bernasindonesia.com - DI BALIK sukses fenomenal novel “One Hundred Years of Solitude” ada kisah yang menakjubkan tentang kepercayaan dan keteguhan cinta seorang isteri, yang membuat penulisnya menjadi jenius mujur yang akan menimbulkan iri hari besar pada semua pria.
Gabriel García Márquez bertemu dengan Mercedes Barcha saat ia baru berusia 13 tahun. Sejak pertama kali melihatnya, ia tahu gadis itu akan menjadi pasangan hidupnya.
Tanpa ragu ia melamarnya ketika mereka masih duduk di bangku sekolah menengah. Mercedes tersenyum, tidak menolak, tidak juga tergesa-gesa—ia paham bahwa waktu akan menguji dan membuktikan cinta mereka.
Delapan belas tahun kemudian, ketika Márquez cukup dewasa untuk mewujudkan janji masa kecilnya, ia kembali melamar — kali ini secara resmi. Mercedes tanpa ragu menerima lamaran itu karena ia selalu percaya bahwa hidup mereka memang ditakdirkan untuk berjalan bersama.
Mereka menikah, membangun rumah tangga, dan dikaruniai dua orang putera.
Namun cinta tak selalu tumbuh di taman bunga, di tengah hari-hari yang selalu ceria. Ketika Márquez pada pertengahan usia 30an memutuskan untuk mulai menulis sebuah novel (kemudian menjadi mashur sebagai “Solitude”), keluarga kecil mereka dibelit kesulitan serius.
Marquez berbulat tekad mencurahkan seluruh waktu, energi dan antusiasmenya untuk mewujudkan karya yang sejak lama terus berdenyut keras di kepalanya — suatu fiksionalisasi atas sejarah keluarganya sendiri yang penuh drama, heroisme, tapi juga kesialan nasib dan kehampaan yang mencekam.
Dengan tekad sebulat itu, dampak logisnya pun jelas: Marquez tidak mungkin menghasilkan nafkah apapun untuk menghidupi keluarganya. Pemasukannya nol. Mercedes memikul semuanya dalam diam, dan menjadi sandaran tunggal suami dan kedua anak mereka di hari-hari yang sangat menekan.
Ada masa ketika mereka tak punya cukup uang untuk membeli makanan, ada malam-malam panjang ketika hanya Mercedes seorang diri yang percaya bahwa buku itu akan mengubah nasib mereka. Ketika tak ada jalan lain, Márquez menjual mobilnya demi bisa terus menulis.
Dan setelah karya itu rampung 18 bulan kemudian, mereka dikepung oleh utang yang begitu besar, dan bahkan tak punya cukup uang untuk mengirim naskahnya ke penerbit.
Mercedes kembali menunjukkan keyakinan dan keteguhannya. Ia mengumpulkan sisa barang apa saja yang bisa dijual—dari pengering rambut hingga perabot rumah tangga—demi mendapatkan cukup uang untuk mengirimkan manuskrip itu.
Tak ada yang bisa menjamin buku itu akan sukses, tapi Mercedes tetap percaya total kepada suaminya. Mereka mengirimkan naskah berisi seluruh harapan mereka itu kepada penerbit. Lalu menunggu dengan gelisah dan tangan kosong.
Kemudian sukses gemilang muncul bagaikan mukjizat yang pantas. “Cien Anos de Soledad” langsung menggema, mula-mula di Kolombia dan Amerika Latin, kemudian di seluruh dunia, setelah diterjemahkan ke 50an bahasa, termasuk Rusia, Arab dan Mandarin.
“Soledad” menjadi salah satu mahakarya dalam sastra dunia yang paling menakjubkan. Ia menganut sekaligus membuat genre “magic realism” khas Amerika Latin menjadi mashur di jagat sastra dunia. Seorang kritikus sastra Amerika menyanjungnya begini: “Perlu seratus penulis selama seratus tahun untuk melahirkan karya ini.”
Lima belas tahun kemudian (1982) Gabriel Garcia Márquez meraih Hadiah Nobel Sastra untuk family saga itu, selain banyak penghargaan lain dari sejumlah negara. Kita tahu bahwa “Soledad” adalah kisah keluarganya sendiri setelah membaca otobiografi yang ditulisnya dengan cara yang belum pernah dilakukan orang lain, “Living to Tell the Tale.”
Kini, enam dekade setelah karya itu terbit pertama kali, “Soledad” masih terus dibaca orang, dan tetap menimbulkan kekaguman dan inspirasi, bahkan pada mereka yang membacanya untuk yang ke sekian kali. Tahun lalu Netflix membuat serial filmnya.
***
Namun jika ada sesuatu yang lebih besar dari semua penghargaan, bagi Marquez tentu itu adalah Mercedes Barcha — yang telah percaya padanya sejak dunia belum mengenal namanya, yang telah memberikan segalanya tanpa janji apa pun. Semua lelaki selayaknya memendam rasa iri yang bersahabat kepada pria Kolombia itu.
Mercedes bukan sekadar isteri dari seorang jenius. Dialah sayap yang membuatnya mampu terbang tinggi, tumpuan yang membuatnya tetap teguh, seorang perempuan yang percaya penuh, bahkan ketika seluruh hidup tak berani percaya pada dirinya.***
Oleh: Hamid Basyaib