Bernasindonesia.com - Praktik penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia tidak hanya terjadi dalam ruang-ruang tertutup seperti tahanan, tetapi juga mulai teridentifikasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Misalnya terjadi di penjara, kantor kepolisian, hingga unit layanan perempuan dan anak, serta tempat penyelenggaraan pelayanan publik lain. Dalam peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional dan Hari Pelayanan Publik Internasional, Ombudsman RI menegaskan bahwa negara tak boleh abai terhadap kekerasan terselubung yang kerap terjadi atas nama prosedur dan kewenangan.
Melalui seminar "Menanam Nilai, Menuai Integritas: Pencegahan Penyiksaan dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik" yang digelar Selasa (25/6/2025) di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Ketua Ombudsman RI, Mokhamad Najih menyampaikan bahwa penyiksaan adalah bentuk ekstrem dari maladministrasi yang harus segera dicegah. Najih menekankan pentingnya membangun mekanisme nasional yang mampu mengawasi dan menghentikan praktik kekerasan dalam layanan publik, bukan hanya sebagai kewajiban hukum, tetapi sebagai komitmen moral dan kemanusiaan.
"Pemahaman tentang pencegahan penyiksaan kepada pelaksana pelayanan publik sangat krusial. Kita ingin ruang publik menjadi tempat yang aman dan bermartabat, bukan arena penuh tekanan dan ketakutan," ujar Najih.
Isu penyiksaan ini dibahas dari berbagai perspektif oleh para narasumber lintas sektor, termasuk hukum, HAM, akademisi, dan lembaga internasional. Dalam paparannya, Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro menyoroti laporan-laporan masyarakat yang mencerminkan praktik kekerasan yang berulang di ruang pelayanan publik, serta berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktik tersebut. Misalnya dengan mendorong entitas pelayanan publik untuk memperbarui SOP hingga perubahan regulasi yang terindikasi melakukan penyiksaan dan membentuk Nota Kesepahaman dengan berbagai APH dalam kaitan mencegah penyiksaan dalam penegakan hukum.
Sementara itu, Ben Buckland, Senior Adviser dari Association for the Prevention of Torture memperkenalkan pendekatan pencegahan penyiksaan ekologis atau menyeluruh mulai dari individu hingga sistem nasional/global. Dalam paparannya, Ben juga menyampaikan pembelajaran yang telah dilakukan oleh berbagai negara lainnya.
Dari sisi kriminologi, Prof. Adrianus Meliala menjabarkan 10 (sepuluh) pemikiran mengenai upaya paksa (force), kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture) yang kerap kali disalahpahami.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, memaparkan secara komprehensif terkait Konvensi Anti Penyiksaan (KAP), baik itu terkait latar belakang, capaian, hingga tantangan umum dan khusus untuk mencegah penyiksaan di Indonesia.
Mendukung, Kusmiyanti, Wakil Direktur Bidang Akademik Politeknik Pengayoman Indonesia, menegaskan pentingnya reformasi budaya institusi pemasyarakatan yang mengedepankan Hak Asasi Manusia dan prinsip anti penyiksaan sebagai kunci untuk mencegah penyiksaan terjadi di berbagai Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan.
Adapun kegiatan ini merupakan bentuk kolaborasi dari 6 lembaga dalam Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Ombudsman RI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, KND, dan LPSK. Tujuannya adalah membangun National Preventive Mechanism (NPM) sebagai sistem pengawasan dan pencegahan penyiksaan secara terstruktur. Melalui seminar ini, Ombudsman RI berharap akan tumbuh pemahaman dan komitmen di kalangan pelaksana pelayanan publik bahwa penghormatan terhadap martabat manusia bukan hanya kewajiban hukum, tapi juga cerminan kualitas negara.