Bernasindonesia.com - Hati-hati jika anda melakukan kritik. Salah-salah anda akan dibuang dengan cepat atau dibenci dengan cepat. Apalagi kritik itu anda lontarkan pada orang yang sedang berkuasa, atau merasa berkuasa. Bisa bubar, jalan panjang yang engkau tempuh. Oleh karena itu, kritik selalu mendapatkan pemaknaan yang berbeda di mata para filosof.
Arti kritik pun bervariasi tergantung pada konteks pemikiran dan aliran filsafat masing-masing. Namun secara umum, kritik dalam filsafat bukan sekadar celaan atau kecaman, melainkan sebuah aktivitas intelektual untuk menilai, menguji, dan menimbang suatu gagasan, sistem, atau realitas secara mendalam dan rasional.
Immanuel Kant misalnya kerap melihat kritik adalah inti dari proyek filsafatnya. Dalam Critique of Pure Reason, Kant menempatkan kritik sebagai cara untuk menyelidiki batas dan kemampuan akal budi manusia. Oleh karena itu, dimata Kant, kritik adalah usaha untuk mengetahui apa yang bisa kita ketahui, bagaimana kita mengetahuinya, dan apa batas-batasnya.
Kant melihat tujuan kritik bukan untuk menolak akal, melainkan menggunakannya secara sadar dan bertanggung jawab. Kant kemudian meyakini pula dengan sadar betul bahwa kritik bukan jalan menuju kehancuran, tapi jalan menuju pencerahan. Jadi jika ada orang yang dikritik lalu marah, sejatinya dia sedang berada dalam ketidaksadaran akan hakikat kritik itu sendiri.
Namun demikian kritik dibenak Karl Marx selalu bersifat revolusioner. Dalam pandangan Marx, Ia menyebut filsafatnya sebagai kritik terhadap masyarakat, ekonomi, dan ideologi.
Dalam kitabnya, "Critique of Political Economy" kritik adalah alat pembebasan dari penindasan kelas. Marx mengatakan bahwa kritik terhadap agama adalah syarat awal dari segala kritik.
Ada juga makna kritik yang disampaikan filosof lain, namanya Friedrich Nietzsche.
Sejauh yang saya baca, kritik Nietzsche bersifat genealogis dan dekonstruktif.
Ia mengkritik moralitas tradisional, agama, dan sistem nilai Barat.Oleh karena itu dimatanya
kritik adalah tindakan menggugat nilai-nilai yang dianggap mutlak, dan menggantinya dengan nilai yang lebih afirmatif terhadap kehidupan.
Kata Nietche, segala nilai perlu diuji kembali. Dan uji nilai itu bukan hanya dilakukan oleh diri sendiri, namun juga membutuhkan orang lain sebagai cermin yang lebih jelas dan terang. Kita butuh penilaian ulang terhadap semua moralitas yang kita pihaki sebagai kebenaran. Jika tidak, maka seseorang akan berubah menjadi makhluk yang mempertuhankan dirinya sendiri.
Membongkar relasi kuasa
Lain Nietche, lain pula Michel Foucault. Dalam pandangan Foucault, kritik adalah cara untuk membongkar relasi kuasa dalam wacana dan institusi. Foucault menyatakan bahwa kritik adalah sikap tidak-tunduk terhadap cara berpikir dan sistem yang memaksakan diri sebagai kebenaran.
Bagi Foucault, kritik bukan destruktif, tapi emansipatoris. Kritik, tegas Foucault adalah seni ketidak-patuhan terhadap kekuasaan.
Pertanyaannya adalah, mengapa seseorang bisa menjadi tidak patuh pada kekuasaan. Sebab penguasa selalu merasa selalu benar atau lebih benar. Dalam konteks itu pula yang menyebabkan ia berpendapat bahwa kritik bukan kegiatan desktruktif, namun lebih bersifat emansipatoris.
Menarik juga jika kita kemukakan pendapat Jurgen Habermas selaku filosof post-modernisme.
Baginya, kritik adalah bagian dari rasionalitas komunikatif. Dalam tradisi Mazhab Frankfurt, Habermas melihat kritik sebagai usaha untuk membebaskan manusia dari dominasi melalui dialog rasional. Sebab
dalam pikiran Habermas, kritik itu bertujuan untuk menciptakan ruang publik yang sehat dan demokratis.
Sampai disini saya cukupkan pandangan para filosof itu. Dan mari kita bahas bagaimana berbagai pikiran filosof tersebut memiliki makna dalam kehidupan praktis.
Dalam masyarakat kebanyakan, kritik dianggap mencela. Padahal kritik sebagaimana pandangan para filosof besar itu bukan sesempit celaan. Sebab kritik memiliki dimensi yang tak terbatas. Kualitas kritik akan selalu menyesuaikan diri dengan kondisinya. Seseorang misalnya dapat disarungi oleh julukan tak senonoh, namun pada saat yang sama; ketika sarung itu tidak berdiri pada keadaan yang sebenarnya, maka sarung peyoratif itu hanya sampah belaka. Jadi yang terbaik adalah berfikir tenang, lalu melompat jauh ke depan akan resiko yang mungkin timbul atas tindakan-tindakan peyoratif tersebut.
Tragedi para penguasa
Dalam pergaulan politik, penguasa selalu menempatkan dirinya sebagai monster yang selalu benar. Ia mudah kehilangan akal sehat ketika menghadapi kritik. Oleh karena itu, kekuasaan dalam derajat sekecil apapun, ia pasti bersekutu dengan setan atau bahkan iblis. Kekuasaan kerap bersembunyi dibalik kedetilan. Maka wajar jika orang bilang, "Devil in detail".
Dalam masyarakat yang penduduknya menyembah berhala, maka kekuasaan adalah tidak terbatas. Pemegang kuasa adalah pemilik kebenaran yang tak terbatas. Namun di zaman modern ---dimana mesin-mesin rasionalitas bekerja, maka penguasa pun harus dipantau, harus mendapatkan kritik, dan harus mengelola dirinya secara rasional dan objektif. Objektifitas menjadi kunci dalam segala hal. Kolegialitas dan sikap open mind atas segala kebijakan teknis menjadi pintu masuknya kemajuan. Tanpa itu semua, seorang penguasa akan segera masuk dalam tragedi kemanusiaan yang semakin dalam.
Oleh: Fathorrahman Fadli
Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR)