Bernasindonesia.com - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyatakan bahwa tidak semua peristiwa dapat tercatat dalam sejarah resmi. Menurutnya, penulisan sejarah merupakan proses ilmiah yang membutuhkan ketelitian dan tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa.
“Penulisan sejarah tidak mungkin merangkum seluruh kejadian. Banyak peristiwa yang terjadi, tetapi tidak semuanya masuk dalam buku sejarah,” ujar Hasan di hadapan civitas akademika dan mahasiswa.
Sebagai contoh, Hasan menyebut peristiwa pada masa penjajahan Jepang ketika tokoh Pusat Tenaga Rakyat (Putera), disebut-sebut pernah menyediakan pekerja seks komersial (PSK) untuk tentara Jepang. Peristiwa itu, kata Hasan, terjadi namun tidak ditulis secara eksplisit dalam buku sejarah.
“PSK dibawa dari Karawang untuk tentara Jepang. Kejadian itu nyata. Tapi apakah tertulis dalam sejarah resmi kita? Tidak ada,” ucapnya. “Bukan karena ingin ditutupi, tapi karena ada banyak pertimbangan ilmiah dan batas dalam penulisan sejarah,” tambah Hasan.
Pernyataan Hasan disampaikan dalam konteks polemik publik terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang sebelumnya menyebut pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 sebagai “rumor” yang belum memiliki bukti kuat dan tidak tercantum dalam sejarah resmi. Pernyataan itu menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk kelompok masyarakat sipil.
Menanggapi hal itu, Hasan meminta publik tidak buru-buru menghakimi proyek penulisan ulang sejarah nasional yang saat ini sedang digarap oleh puluhan sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ia memastikan proses tersebut melibatkan ahli yang kredibel dan dilakukan berdasarkan kaidah akademik.
“Ada puluhan profesor dan doktor sejarah yang sedang menyusun naskah sejarah baru. Mereka tidak mungkin menggadaikan integritas akademik mereka,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa tekanan dari media sosial dan opini publik yang emosional dapat merusak proses intelektual yang seharusnya berlangsung dengan jernih dan objektif.
“Ketergesa-gesaan adalah bagian dari tekanan media sosial. Jangan sampai pekerjaan serius ini dikacaukan oleh opini yang tidak berbasis keilmuan,” kata Hasan.
Lebih lanjut, Hasan menyampaikan bahwa sejarah bukan hanya tentang pencatatan masa lalu, tetapi tentang bagaimana bangsa belajar dari peristiwa yang pernah terjadi.
“Sejarah itu kita pelajari untuk membesarkan bangsa di masa depan, bukan untuk membakar emosi di masa kini,” ujarnya.