YLBHI Soroti Represi dan Kriminalisasi: Kepolisian Harus Jadi Alat Negara, Bukan Penguasa

| Kamis, 03 Juli 2025 | 01.06 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - YLBHI menyoroti bahwa di tengah klaim citra positif yang digaungkan Kepolisian RI, realitas di lapangan justru menunjukkan praktik kekerasan, kriminalisasi, dan penyalahgunaan kewenangan yang masih terus berulang.


“Polisi adalah alat negara, bukan alat represi kekuasaan dan modal,” tegas YLBHI . Mereka menggarisbawahi bahwa idealisme kepolisian sebagai pelindung masyarakat kerap bertolak belakang dengan praktik nyata di lapangan.

Dalam pernyataannya, YLBHI menyebutkan bahwa selama ini Polri kerap kali berdiri di sisi kekuasaan dan pemilik modal, alih-alih menjadi pelindung hak konstitusional warga negara. Berbagai bentuk kekerasan, kriminalisasi aktivis, serta penyiksaan dalam proses hukum dinilai masih menjadi pola yang terus terjadi, bahkan seolah dilembagakan.

“Reformasi Kepolisian yang sudah diwacanakan sejak lama belum menyentuh aspek substansi,” ujar pengurus YLBHI. Mereka menegaskan, tanpa evaluasi serius atas sistem hukum dan anggaran kepolisian, cita-cita negara hukum yang demokratis sulit diwujudkan.

Dalam rentang waktu 2019 hingga Mei 2025, YLBHI dan 18 kantor LBH di seluruh Indonesia mencatat setidaknya 154 kasus upaya kriminalisasi yang melibatkan 1.097 korban. Sebagian besar merupakan rakyat kecil yang tengah memperjuangkan ruang hidup atau menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah.

“Mayoritas korban adalah petani, mahasiswa, buruh, dan aktivis. Mereka dikriminalisasi karena membela hak-haknya,” terang LBH. Lima pasal yang paling sering digunakan dalam upaya kriminalisasi ini antara lain Pasal 170 KUHP, Pasal 160 KUHP, Pasal 27 ayat (3) UU ITE, serta Pasal 406 KUHP.

YLBHI mengidentifikasi setidaknya lima pola pelanggaran hak yang berulang:
1. Kekerasan fisik dan psikis saat penangkapan dan pemeriksaan.
2. Penggunaan kekuatan berlebihan saat pengamanan aksi damai.
3. Pembatasan akses bantuan hukum bagi korban kriminalisasi.
4. Tes urine ilegal pada massa aksi tanpa dasar hukum yang jelas.
5. Kampanye hitam terhadap aktivis melalui media.

Ironi terbesar, menurut YLBHI, terlihat pada narasi promosi HUT Polri tahun ini yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menggambarkan sosok polisi bersayap sebagai pahlawan masa kini. “Video promosi itu tidak nyambung dengan kenyataan di lapangan,” tulis mereka. 
Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI