Optimalkan Program Perlindungan, LPSK Beri Masukan RKUHP

| Minggu, 15 September 2019 | 09.38 WIB

Bagikan:
Bernasindonesia.com - Rencana Pemerintah dan DPR untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kian menguat, bahkan ditargetkan selesai pada bulan September 2019 ini. Banyak isu krusial yang menjadi pembahasan alot dalam tim perumus diantaranya terkait masalah hukum adat, pidana mati, penghinaan terhadap presiden, kesusilaan. Serta tindak pidana khusus seperti; terorisme, korupsi, narkotika, juga ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Namun isu perlindungan saksi dan korban tampaknya bukan menjadi perdebatan sulit dalam perumusan RKUHP tersebut.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengapresiasi kerja tim perumus yang telah berusaha secara cepat dan cermat melakukan perubahan terhadap KUHP yang dinilai sebagai warisan kolonial itu.

"LPSK berikan apresiasi setinggi tingginya atas kerja cepat dan cermat tim perumus dalam melakukan perubahan KUHP." Ujar Hasto Atmojo Suroyo, Ketua LPSK mengapresiasi kerja cepat tim perumus.

Terlepas dari RKUHP yang saat ini sedang dikerjakan, LPSK juga berharap rancangan tersebut dapat sejalan dan harmonis dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

"Salah satunya diharapkan dapat sejalan dengan undang-undang terkait Perlindungan Saksi dan Korban (red. UU 31/2014).", tambah Hasto.

Pada kesempatan yang sama, Edwin Partogi Pasaribu, Wakil KetuaLPSK, mengatakan bahwa LPSK telah memberikan masukan terkait perlindungan saksi dan korban.

"Kami telah memberikan masukan dan catatan kepada Tim Pemerintah terhadap beberapa pasal yang berhubungan langsung dengan tugas-tugas LPSK, setidaknya ada 3 poin penting yang menjadi fokus LPSK.", ujar Edwin.

Pertama aturan pidana atas kejahatan terhadap saksi dan korban yang telah diatur dalam Pasal 298-303 draft RKUHP (per 28 Agustus 2019) untuk dapat dipertahankan dengan penambahan frasa dalam pasalnya 'berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban', hal ini bukan tanpa alasan karena pada draft rancangan sebelumnya frasa tambahan tersebut sudah dimuat.

Kedua mengganti frasa ganti rugi (Pasal 66 ayat (1) huruf d) pada draft RKUHP dengan istilah restitusi, yang merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, istilah restitusi ini sendiri tidak hanya terdapat dalam UU perlindungan saksi dan korban namun juga terdapat dalam beberapa UU seperti UU pemberantasan tindak pidana terorisme, UU peradilan HAM, UU perlindungan anak dan UU pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

Ketiga penegasan terhadap mekanisme restitusi itu sendiri agar dapat tereksekusi dan dirasakan oleh korban tidak sekedar kemenangan diatas kertas putusan pengadilan.

Menurut Edwin dalam prakteknya restitusi tidak hanya untuk kasus perdagangan orang atau kejahatan terhadap perempuan dan anak. "Dalam prakteknya restitusi kepada korban tidak terbatas pada kasus perdagangan orang atau kejahatan terhadap perempuan dan anak, namun termasuk kasus penganiayaan, KDRT, hingga kasus pembunuhan yang pernah dikabulkan dalam putusan pengadilan.", ungkap Edwin.

Selain itu Edwin menambahkan bahwa restitusi wajib dipenuhi untuk mengurangi beban korban. "Restitusi ini merupakan kewajiban yang harusnya dipenuhi oleh pelaku tindak pidana dalam upaya meringankan penderitaan korban.", tambah Edwin.

Tanggung jawab pelaku terhadap tindak pidana yang dilakukannya dalam perkembangan pemidanaan modern tidak hanya dimaksudkan untuk menghukum pelaku secara fisik atau pun denda (negara) tetapi juga mewajibkan pelaku mengganti kerugian sebagai sesuatu pidana yang konkrit dirasakan langsung oleh korban dan mewujudkan rasa bersalah pelaku kepada korbannya.

Pemidanaan ganti rugi atau restitusi kepada korban dapat dilihat sebagai perpaduan pendekatan kesejahteraan sosial, kemanusiaan, dan sistem peradilan.

Agar ganti rugi atau restitusi tersebut dapat diimplementasikan dalam praktik, LPSK juga mengusulkan tambahan ayat dalam Pasal 94 draft RKUHP (per 28 Agustus 2019). "LPSK mengusulkan tambahan ayat berupa syarat bagi pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana restitusi, sebelum mendapatkan haknya berupa remisi dan/atau pembebasan bersyarat dipastikan telah membayar restitusi kepada korban”, tegas Edwin.

“Kami sangat berharap usulan dan masukan yang telah kami sampaikan kepada Tim Perumus Perubahan RKUHP, dapat mengakomodir hal yang kami sampaikan sehingga program perlindungan terhadap saksi dan korban kedepannya akan semakin kuat dan tidak diperdebatkan lagi secara teknis dalam pelaksanaannya.”, pungkas Edwin. (RN)


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI