Menjaga Demokrasi Substansial: Tugas Utama Joe Biden

| Rabu, 11 November 2020 | 13.36 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Make American Great, slogan yang membawa Donal Trump memimpin Amerika ternyata terbukti tidak mampu mempertahankan posisi Amerika sebagai Negara Super Power. Bahkan gagasan itu nampaknya tidak diterima di kalangan mayoritas American setelah Pilpres 2020 ini dimenangkan oleh pesaingnya Joe Biden. 


Joe Biden maju dan terpilih menjadi Presiden Amerika dari Partai Demokrat. Partai yang dikenal dengan doktrin yang mengedepankan persamaan hak manusia ini, menang telak atas Partai Republik yang mengusung Trump. Terlepas dari masih adanya upaya segelintir pendukung Trump yang belum menerima hasil Pilpres Amerika, namun dapat diduga kuat, bahwa proses pelantikan Joe Biden sebagai Presiden Amerika tinggal menunggu jadwal saja. 


Di masa kepemimpinan Trump, demokrasi di Amerika mengalami depisit. Sejumlah kebijakan Trump menuai reaksi dari masyarakat Amerika, karena dipandang tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang dijunjung tinggi konstitusi dan masyarakat Amerika. Konflik yang bernuansa Rasisme, bahkan menelan sejumlah korban jiwa. 


Pandemi Covid19 memang tantangan nyata yang mesti di hadapi oleh Joe, dimana Trump benar-benar telah gagal menjaga warga Amerika dari serangan pandemi ini. Namun, dalam konteks Amerika sebagai suatu Bangsa besar, upaya mengatasi persoalan Covid19 ini, bukanlah tema yang akan dihadirkan sebagai cover kebijakan. Demokrasi lah yang akan ditampilkan oleh siapa pun Presiden Amerika dalam memimpin Amerika untuk menjawab aneka tantangan, sekaligus meraih peluang bagi usaha mempertahankan supremasi dan kemajuan yang telah dicapai oleh Amerika melalui kerja keras Presiden dan rakyat Amerika terdahulu. Sebab itu, dapat di pastikan bahwa di tangan  Joe Biden, demokrasi akan ditampilkan sebagai cover utama kebijakan dalam maupun luar negeri Amerika. 


Cover besar demokrasi ini,  selanjutnya yang akan menentukan bagaimana Amerika melakukan pemulihan atas depisit demokrasi yang tengah dialami, serta menjadi acuan dalam membangun hubungan internasional di masa Presiden Joe. 


Yang perlu disadari--dan saya kira sekelas Presiden Amerika sangat memahami hal ini-- bahwa depisit demokrasi tidak hanya sedang melanda Amerika, namun tengah melanda berbagai belahan dunia. Bahkan, telah muncul pandangan yang menilai bahwa demokrasi sedang bergerak menjemput kematiannya dibawah kepungan politik deliberasi, yang tampaknya dalam banyak hal di tafsirkan sebagai otoritarianisme. Sebut misalnya amandemen konstitusi di Tiongkok yang meneguhkan kepemimpinan Xi Jinping sebagai Presiden seumur hidup. Amandemen konstitusi di Rusia yang memberikan kesempatan kepada Vladimir Putin untuk berkuasa lagi, dan lagi. Uni Eropa sebenarnya juga dalam derajat tertentu sedang mengalami depisit demokrasi. Terutama terkait dengan meningkatkan sentimen Rasisme, Islamophobia dan kekerasan kemanusiaan. Hal yang sama terjadi di India, kekerasan bernada Rasisme pun mengalami peningkatan. Jadi praktis dapat dikatakan bahwa demokrasi secara umum tengah mengalami depisit diberbagai belahan dunia.


Bukan hal mudah bagi Presiden Joe, untuk mendorong kembali bangkitnya demokratisasi. Bahkan untuk alasan tertentu, Amerika harus membuka meja perundingan berlapis-lapis dengan China, dengan Rusia, dan sekutu utama mereka Ini Eropa, dan Indo-Pasific, untuk memastikan hal ini dapat terwujud. Dan dalam skala tertentu, sangat mungkin kebijakan mendorong demokrasi ini, justru akan menaikkan ekskalasi konflik di Laut Cina Selatan, memanaskan kembali situasi di Jalur Gaza, meningkatkan suhu politik di Indo-Pasific, dan tentu saja di kawasan Timur Tengah, terutama dengan pemerintah Iran. 


Dalam bingkai besar kebijakan demokrasi, memang terdapat sejumlah Isyu yang menyertai. Sebutlah misalnya, isu lingkungan hidup yang akan selalu erat kaitannya dengan kebijakan green ekonomi, Isyu LGBT yang dikaitkan dengan persoalan HAM, maupun Isyu mengenai pentingnya dialog peradaban. Platform Isyu yang menyertai kebijakan demokrasi ini, berdasarkan kebijakan Presiden Amerika dari partai Demorat terdahulu, senantiasa digandengkan dengan keseimbangan geo-politik dengan aneka kebijakan perjanjian penggunaan senjata pemusnah massal. Topik ini saya kira tetap sama, juga akan dilakukan Biden. 


Hal lain, berdasarkan pengalaman terdahulu, Amerika kembali akan memanfaatkan secara maksimal peran NGO dalam mendorong sejumlah kebijakan politik luar negerinya. Namun, dalam banyak hal untuk berbagai alasan yang bersifat strategis dalam pengalokasian anggaran, Amerika akan melakukan verifikasi lebih selektif atas NGO yang menjadi mitra strategis mereka. Ini karena pada kenyataannya, China yang merupakan pesaing utama Amerika saat ini, juga telah mengadopsi gaya Amerika dalam pemanfaatan NGO bagi kebijakan luar negerinya. WHO adalah salah satu diantaranya. Hal lain, bagaimanapun Komunisme adalah musuh laten dari liberalisme.


Bagaimana dengan Indonesia? Tidak sulit bagi Indonesia untuk beradaptasi dengan kebijakan luar negeri Amerika, sekalipun disaat yang sama memberi karpet merah bagi investasi negara komunis Tiongkok. Hanya saja, tantangan demokratisasi di Indonesia, bukanlah kebijakan politik luar negeri Negara lain, termasuk Amerika atau Tiongkok. Tantangan demokrasi di Indonesia adalah masalah internal yang tidak kunjung dibenahi. Korupsi, ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan dalam penegakan hukum. Tiga hal itulah tantangan bagi demokrasi substansial di Indonesia. Tanpa upaya mengatasi ketiga hal itu, depisit demokrasi terus akan terjadi di Indonesia.


Oleh: Hasanuddin

Penulis tinggal di Depok, Jawa Barat

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI