Kelas Ekonomi Menengah Teriak

| Kamis, 14 Agustus 2025 | 05.05 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Hampir setiap negara demokratis, peran kelas pendapatan menengah sangat sentral baik dalam perkembangan perekonomian negeri maupun perannya sebagai aktor penentu kemenangan pemilu di demokrasi elektoral modern.


Dalam konteks politik, kelas menengah menjadi sangat sentral terutama karena posisinya sebagai: swing voters terbesar, pembentuk opini publik, dan pemilih dengan partisipasi tinggi, dengan catatan pengaruhnya bersifat kontekstual, tergantung pada dinamika isu, fragmentasi sosial, dan kredibilitas kandidat. Dalam 8 dari 10 pemilu kompetitif (berdasarkan studi LSE 2023), kandidat yang menang adalah yang berhasil merebut >40% suara kelas menengah di distrik kunci.

Gambaran peran kelas menengah di Perancis dan Belanda (fragmentasi partai tinggi), kelas menengah menentukan koalisi.

Di Brazil dan Filipina ketika terjadi polarisiasi elite vs miskin yang tajam, kelas menengah menjadi penengah krisis.

Sedangkan di Thailand dan Peru, berkembangnya krisis kepercayaan pada institusi menyebabkan termobilisasinya kelas menengah dalam penggulingan rezim.

Ketika perekonomian Indonesia ditandai dengan merosotnya jumlah kelas (pendapatan) menengah yang konon dari sekitar 22% di tahun 2019 merosot tajam ke sekitar 17-19% di tahun 2024, yang paling mudah dirasakan dan dilihat masyarakat umum adalah banyak terjadi PHK, daya beli menurun tajam sehingga banyak usaha menengah kecil sangat merana dengan penurunan omzet yang tajam (sampai terpaksa memutuskan pengurangan tenaga kerja), pajak negara tidak mencapai target, usaha-usaha mikro yang jadi langganan kelas menengah kembang kempis kelangsungan usahanya.

Sementara itu pemerintah sedang sibuk membenahi kinerja ekonomi makro, seperti laju pertumbuhan, inflasi, suku bunga, nilai kurs, investasi (PMA-PMDN) dan sebagainya.

Bisa dimaklumi karena indikator ekonomi makro menjadi rujukan utama untuk stabilitas ekonomi-politik serta kepercayaan internasional terhadap perekonomian dalam negeri.

Viralnya kontroversi angka pertumbuhan 5,12% Q2 th 2025 yang baru di rilis oleh BPS tentu meengumpulkan banyak kritik pedas, ketika dikaitkan dengan kenyataan penurunan berbagai indikator kinerja ekonomi sektor riil seperti PMI yang terkontraksi dibawah poin 50 selama 4 tahun berturut-turut, banyaknya anrian PHK, kesulitan Gen-Z mencari kerja yang dikabarkan delam medos ribuan antrian pencari kerja, daya beli menurun, banyaknya penjualan asset properti rumah dll.

Mungkin ini baru pertama kali terjadi, lembaga CELIOS (Center of Economic and Law Studies) pada 8 Agustus 2025 berkirim surat ke United Nationas Statistical Commision-PBB, yang meminta PBB untuk peduli terhadap kemungkinan erosi integritas data BPS, karena melihat kontroversi terhadap kondisi sektor ekonomi riil yang ada di masyarakat.

Dalam suratnya Celios menduga ada tekanan atau pengaruh dalam kompilasi data pada lembaga BPS (sebagai lembaga profesional dan independen, sebagaimana disepakati secara internasional sebagai ‘The Fundamental Principles of Official Statistics’ yang menjadi pedoman PBB.

Yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah adanya paradoks ekonomi dimana perkembangan dan stabilitas ekonomi makro tidak secara otomatis memperbaiki ekonomi riil masyarakat khususnya kelas menengah dan usaha besar yang mempekerjakan banyak tenaga kerja (padat karya).

Kelas ekonomi menengah adalah penggerak utama pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Mereka berperan sebagai motor penggerak permintaan domestik, karena memiliki daya beli yang cukup untuk mengonsumsi berbagai barang dan jasa, dari kebutuhan sehari-hari hingga barang-barang tahan lama seperti kendaraan dan properti.

Permintaan yang kuat ini mendorong produksi, menciptakan lapangan kerja, dan menstimulasi investasi bisnis.
Selain itu, kelompok ini merupakan sumber utama modal manusia (human capital) dan inovasi.

Umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, keterampilan yang lebih beragam, dan merupakan wirausahawan yang menciptakan bisnis baru.

Kemampuan mereka untuk berinovasi dan beradaptasi dengan teknologi baru sangat penting bagi peningkatan produktivitas dan daya saing ekonomi nasional.

Dalam konteks kebijakan, keberadaan kelas menengah yang kuat dapat mendorong stabilitas sosial dan politik. Mereka cenderung mendukung kebijakan yang mempromosikan tata kelola pemerintahan yang baik, transparansi, dan efisiensi, yang semuanya merupakan prasyarat penting untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Tanpa kelas menengah yang solid, perekonomian akan lebih rentan terhadap ketidaksetaraan ekstrem dan guncangan ekonomi.

Oleh karena itu, kebijakan ekonomi yang mengabaikan penguatan kelas menengah dan lebih berfokus pada indikator makro seperti pertumbuhan PDB semata, tanpa memperhatikan sektor riil dan kesejahteraan masyarakat, berisiko menciptakan pertumbuhan yang tidak merata dan tidak berkelanjutan.

Kebijakan semacam itu, yang sering kali diasosiasikan dengan pendekatan neoliberal, dapat memperlebar kesenjangan dan membuat perekonomian lebih rapuh.

Ada paradoks bahwa pertumbuhan ekonomi makro dan stabilitas tidak otomatis memperbaiki ekonomi riil, terutama bagi kelas menengah dan usaha padat karya, sehingga menjadi fenomena global yang semakin terlihat pasca 1990-an.

Pertumbuhan PDB sering didorong oleh sektor finansial, teknologi, atau ekstraktif yang tidak padat karya (misal: pasar modal vs industri tekstil). Contoh di AS (2009-2019) pertumbuhan PDB 2.3%/tahun, tetapi upah riil buruh manufaktur stagnan (EPI).

Paradoks juga terjadi pada disparitas produktivitas dimana sektor modern (fintech, AI) tumbuh cepat tetapi hanya menyerap <5% tenaga kerja, sementara sektor padat karya (pertanian, UMKM) tertinggal (data ILO).

Ekonomi makro cenderung melahirkan kebijakan makro yang ‘bias modal’. Kebijakan moneter longgar (QE), stimulus likuiditas (cetak uang, turunkan suku bunga) memicu inflasi aset (saham, properti) yang menguntungkan pemilik modal, tetapi tidak menciptakan lapangan kerja baru.

Contoh: QE AS pasca-2008 meningkatkan kekayaan 1% teratas sebesar 40%, tetapi upah riil hanya naik 0.2%/tahun (Fed St. Louis).

Kebijakan fiskal regresif seperti subsidi korporasi besar dan tax holiday lebih mudah diakses konglomerat dibanding insentif untuk UMKM padat karya (studi IMF 2017).

Kebijakan ekonomi makro juga mempunyai implikasi transformasi struktural yang meminggirkan padat karya. Kebijakan otomatisasi vs penyerapan tenaga kerja memberi fenomena kemajuan teknologi yang menggantikan pekerjaan rutin (manufaktur, administrasi), sehingga kelas menengah bawah paling terdampak (McKinsey, 2019: 400 juta pekerja global terancam otomatisasi 2030).

Perkembangan ekononomi dunia yang makin meng-global sering tidak diikuti dengan perlindungan yang memadai. Relokasi industri ke negara upah murah (China, Vietnam) menghancurkan basis usaha padat karya di negara asal (deindustrialisasi prematur), sementara kelas menengah lokal kehilangan pekerjaan (AS -Rust Belt-).

Paradoks yang lebih banyak dirasakan masyarakat, adalah dimana stabilitas makro (inflasi rendah) sering hanya menguntungkan pemilik aset. Sementara itu, biaya hidup (pendidikan, kesehatan, perumahan) naik lebih cepat daripada upah. Contoh: Indonesia 2010-2020: inflasi rata-rata 4.1%/tahun, tapi biaya pendidikan naik 10%/tahun, kesehatan 8%/tahun (BPS).

Terjadi erosi daya beli kelas menengah dimana upah nominal naik, tetapi upah riil (disesuaikan inflasi) stagnan atau turun terutama di sektor jasa.

UMKM padat karya (tradisional) kesulitan akses pendanaan, pasar digital, dan infrastruktur canggih, sementara startup digital tumbuh cepat dengan sedikit pekerja. Pendidikan tidak siapkan tenaga kerja untuk ekonomi baru sehingga kelas menengah terdidik jadi ‘pekerja miskin’ (gig economy tanpa jaminan sosial).

Secara keseluruhan gambaran paradoks perekonomian diatas memberikan adanya trickle-down yang gagal. Pertumbuhan makro modern cenderung ‘capital-intensive, bukan labor-intensive’, didukung oleh kebijakan yang bias pemilik modal dan lemahnya mekanisme distribusi.

Stabilitas makro saja tidak cukup tanpa transformasi struktural inklusif yang memprioritaskan penciptaan lapangan kerja berkualitas dan perlindungan daya beli.

Ekonomi hanya benar-benar ‘tumbuh’ ketika kelas menengah dan usaha padat karya merasakan kemajuan, bukan hanya statistik di atas kertas.

Kelas Menengah Frustrasi

Frustrasi kelas menengah yang meluas terhadap politik dalam konteks paradoks ekonomi-stabilitas ini bisa digambarkan sebagai ‘kemarahan struktural’ akumulasi kekecewaan sistematis terhadap sistem yang gagal menjembatani kesenjangan antara kemajuan makro dan realitas hidup mereka.

Sumber frustrasi adalah politik yang terfragmentasi dari realitas. Terlalu banyak kebijakan diatas awan dimana keputusan fiskal/moneter (seperti relaksasi pajak korporasi atau QE) dirasakan hanya menguntungkan oligarki finansial, sementara UMKM padat karya dibiarkan tenggelam dalam birokrasi dan persaingan tidak sehat.

Politisi menjanjikan pertumbuhan inklusif dan penciptaan lapangan kerja, tapi dalam praktik insentif untuk startup unicorn dibanding minimnya akses kredit UMKM tradisional. Di Indonesia, hanya 12% UMKM yang dapat pinjaman bank (OJK 2023).

Manifestasi frustrasi kelas menengah bisa berbentuk apatisme politik, contoh penurunan partisipasi pemilu kelas menengah muda (AS 2022 turun 8% vs 2018/Census Bureau), akar masalahnya ‘suara kami tak mengubah kebijakan’.

Juga berbentuk gerakan sosial radikal, contoh demo "Yellow Vest" Prancis (2018) dimana kelas menengah-bawah marah atas kenaikan pajak bahan bakar dan ketimpangan, yang akar masalahnya adalah akumulasi ketidakadilan ekonomi.

Bentuk frustrasi lainnya adalah populisme reaktif, contoh dukungan kelas menengah terdidik pada Trump/Bolsonaro sebagai ‘penghancur status quo’, karena kekecewaan pada elit politik tradisional.

Yang terakhir bentuk frustrasi migrasi politik, seperti di Spanyol, dimana kelas menengah profesional hijrah ke partai kanan/kiri ekstrem (Spanyol: dukungan Vox naik 210% di perkotaan/2019) karena kegagalan partai arus utama.

Kelas menengah memang menghadapi berbagai dilema antara harapan dan pengkhianatan. Mereka dijadikan target politik, tapi diabaikan pasca pemilu.
Kampanye pemilu menjual janji perbaikan UMKM dan upah layak, tetapi kebijakan pemenuhan UMP/UMK kerap diblokir DPR.

Sebagai contoh UU Cipta Kerja di Indonesia dianggap mengorbankan perlindungan pekerja demi investasi. Kelas menengah terjepit antara membayar pajak tinggi (tanpa subsidi memadai) dan biaya hidup melambung.

Partai Politik terfokus pada pemilih massa miskin (populisme subsidi) atau pemodal besar (penggalangan dana kampanye), sedangkan kelas menengah dianggap terlalu ‘mahal’ untuk diwakili (kebutuhannya kompleks: pendidikan berkualitas, ekosistem UMKM sehat, lapangan kerja stabil).

Terhadap hal ini bisa terjadi fenomena ‘silent strike’, mereka tidak turun ke jalan seperti kaum miskin, tapi memprotes lewat: migrasi ke luar negeri (‘brain drain’), menolak berpartisipasi dalam survei/pemilu, beralih ke kripto /aset privat untuk lindungi kekayaan.

Ketika demokrasi gagal memenuhi aspirasi kelompok menengah, mereka bisa menjadi pendukung otoritarianisme kompeten (alasan dukungan kelas menengah Singapura/China pada rezim otoriter).

Mereka juga bisa membangun basis revolusi diam-diam (gelombang pengunduran diri massal ‘The Great Resignation’ di AS).

Terjadi erosi kepercayaan pada institusi dimana hanya 34% kelas menengah Indonesia percaya pada DPR (LSI 2023), turun dari 65% (2009).

Kondisi kelas menengah di Indonesia bisa dipahami sebagai potret frustrasi ‘kelas penghubung yang terputus’. Kelas menengah frustrasi karena mereka adalah produk sekaligus korban dari paradoks ekonomi-politik modern.

Frustrasi ini adalah lampu kuning bagi demokrasi, jika tidak direspons, ia bisa berubah menjadi: gelombang anti-establishment (Brexit, Trumpism), apatisme permanen (penurunan partisipasi demokrasi), atau eksodus sistemik (meninggalkan negara/bergantung pada swasta).

Mudah-mudahan pemerintah dan politisi mendengarkan teriakan kelompok ekonomi menengah, sebelum mereka marah tidak terkendali.

Oleh: Hadi Prasetyo

Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik


Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI