Bernasindonesia.com - Tokoh bernama lengkap Soeharto (1921–2008) adalah presiden kedua Republik Indonesia (1966–1998). Memahami ia berpikir, mengambil keputusan, dan membentuk rezim, kita perlu mencermati dirinya sebagai anak dari tiga “tradisi pembentuk”-nya. Ialah: peradaban politik Jawa–Mataram, etika kesantrian & sufisme Jawa, militer kolonial Belanda & Jepang.
Soeharto lahir di Kemusuk, Yogyakarta (1921). Secara historis merupakan zona inti kebudayaan Mataram Islam (Kotagede–Yogyakarta–Surakarta). Area yang sejak abad ke-17 dikenal sebagai _*buffer zone*_ peradaban Jawa. Pusat kekuasaan simbolik, pusat adat, dan pusat konsepsi politik Jawa.
Konsep utama politik Mataram adalah *“mikul dhuwur mendhem jero”*. *“Sapa wani nglawan ratu bakal cilaka”* (melawan pemerintah akan celaka). Wajib memelihara tatanan kosmis (*memayu hayuning bawana*). Rezim adalah representasi ketertiban kosmis. Pemberontakan dianggap sebagai ancaman terhadap dunia yang tertata.
Soeharto menyerap tradisi ini bukan dari pendidikan formal. Melainkan dari lingkungan, bahasa sehari-hari, dan relasi sosial. Ia tumbuh di ruang budaya di mana jatuh–bangunnya kekuasaan Mataram masih menjadi ingatan kolektif: konflik dinasti, pemberontakan dan perebutan legitimasi. Bahkan jatuh bangun kekuasaan Nusantara. Mulai Mataram Kuno hingga Majapahit.
Tidak heran jika kelak, ia sangat tidak setuju dengan gerakan yang dianggap “mengoyak tatanan”. Baik ekstrim kanan (Darul Islam) maupun ekstrim kiri (PKI).
Dalam teori Clifford Geertz tentang politik Jawa, negara dipahami sebagai panggung kosmis. Stabilitas merupakan kewajiban moral. Soeharto contoh nyata “pemimpin Jawa” dalam definisi Geertz: pendiam, taktis, konsensual, tapi sangat keras terhadap ancaman terhadap harmoni.
Buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya” memberi informasi ketika masa kecil tinggal di Wonogiri, ia sering mendampingi/membantu Kyai Daryatmo. Seorang kyai “sufistik”. bukan tipe _da’i_ (pengajian). Melainkan “kyai ruwat”, konsultan spiritual masyarakat, penyelaras batin, yang dalam budaya Jawa memiliki posisi sangat penting.
Hubungan ini membentuk Soeharto dalam beberapa hal: kedekatan pada tasawuf Jawa (laku prihatin, tirakat, tapa), keyakinan pada tanda-tanda batin, orientasi pada ketenangan batin dalam mengambil keputusan, Kecenderungan pada “jalan tengah”.
Bahkan hingga masa kekuasaannya, Presiden Soeharto dikenal sering melakukan laku spiritual ala Jawa–Islam. Tirakat di tempat-tempat tertentu, konsultasi dengan ulama dan sesepuh, dan sebagainya.
Presiden Soeharto kemudian bersekolah di sekolah formal Muhammadiyah di Yogyakarta. Alasannya karena menerima siswa miskin tanpa persyaratan pakaian resmi: beskap. Dari sini ia mendapat etos disiplin dan kebersihan ala modernis, pemikiran Islam rasional dan reformis, sikap bekerja sunyi. Kombinasi NU–sufistik dan Muhammadiyah–modernis menciptakan kepribadian religius yang pragmatis. Tidak fanatik, namun memiliki struktur moral internal.
Menurut teori antropologi agama (Woodward, Beatty), Islam Jawa adalah jaringan identitas sinkretis antara: Islam normatif, sufisme, adat Jawa (kejawen). Soeharto adalah produk integratif dari ketiganya. Maka dipahami ia tidak mendukung ideologi agama politik (DITII) maupun sekularisme radikal. Ia memposisikan negara sebagai penjaga harmoni religius.
Soeharto pernah menerima pelatihan militer Belanda, KNIL. Menekankan hierarki ketat, komando tunggal, kesetiaan korps, disiplin tanpa kompromi. Pada era Jepang, menerima pelatihan kemiliteran PETA. Dari KNIL ia mendapat _*order & hierarchy*_. Dari PETA ia mendapat _*spirit & mobilization.*_
Soeharto muda kemudian aktif di TNI, bergabung dalam pertempuran 1945–1949. Ikut operasi penting seperti: Serangan umum 1 Maret, penumpasan DI/TII, operasi di Sulawesi, operasi Mandala pembebasan Irian Barat, penumasan PKI 65. Di sini ia melihat langsung bagaimana gerakan ekstrem kanan & kiri menyebabkan kekacauan. Inilah yang membentuk prinsip politiknya: negara harus membungkam ekstremisme demi keberlanjutan peradaban.
Dalam teori Huntington tentang militer, Soeharto cocok dengan tipe _*“praetorian leader”.*_ Pemimpin yang lahir dari militer dengan agenda stabilitas, birokrasi kuat, dan depolitisasi publik.
Apa Soeharto otoriter, atau hanya beda sudut pandang?. Jawabnya tergantung kerangka analisis.
Konsep moderen-liberal menempatkan Orde Baru rezim otoriter. Secara ilmiah (O’Donnell, Huntington, Levitsky): oposisi dibatasi, media dikontrol, pemilu tidak kompetitif, korupsi struktural, kekerasan negara terjadi. Perspektif ini, Orde Baru adalah otoritarianisme birokratis-militer.
Perspektif budaya-politik Jawa & logika keamanan militer, rezim presiden Soeharto bukan toriter. Melainkan sebagai penjaga tatanan. “Penjaga stabilitas,” “pemberi ketertiban,” “pelindung rakyat dari ekstremisme,”. “Bapak bangsa” menurut model paternalistik Jawa. “Ketegasan” adalah moral, bukan kekejaman. UUD 1945 melegalisasikan hal itu.
Dalam kerangka struktural _*Cold War*_: kekerasan dianggap normal. Dalam masa perang. Pada masa itu Amerika mendukung rezim anti-komunis. Banyak negara Asia melakukan pembersihan politik dari ancaman komunis & ekstrem kanan. Kekerasan bukan unik Soeharto, melainkan norma global pada zamannya.
Soeharto sering dituding korup karena: patronase ekonomi, kroniisme, monopoli keluarga. Namun secara struktural, Orde Baru menganut model: developmental state (mirip Korea Selatan, Taiwan). Menggunakan konglomerat sebagai instrumen stabilitas & pembangunan, memusatkan akses ekonomi untuk mengontrol elite. Menurut paradigma ini, yang dinilai korup oleh masyarakat modern adalah: sistem patrimonial, penggunaan keluarga sebagai _*“trust circle”_, ekonomi berkaitan negara.
Tetapi dalam konteks budaya Jawa— _*circle*_ keluarga adalah sumber kepercayaan _*(trust)*_ paling aman. Ini lagi-lagi adalah perbedaan _*filosofi governance*_: modern menuntut transparansi, tradisi Jawa menuntut kepercayaan berbasis keluarga.
Presiden Soeharto merupakan pertemuan tiga tatanan. Perspektif Jawa–Mataram melihat negara sebagai tatanan kosmis yang harus dijaga dari kekacauan. Perspektif santri-sufistik: kepemimpinan hening, mendalam, moderat, tetapi tegas ketika stabilitas terancam. Perspektif Militer KNIL–PETA: logika keamanan yang keras, anti-ekstremisme, bukan demokratis-liberal.
Tudingan “otoriter, kejam, korup” muncul karena perbedaan paradigma antara nilai modern vs nilai tradisional khas Nusantara. Juga oleh adanya pergeseran zaman era: setelah 1998. Sistem birokrasi-militer memang keras dan tidak dikehendaki lagi. Realitas politik _*cold war*_ untuk pertahanan negara. Ditambah spirit balas dendam eks keturunan anggota dan simpatisan PKI.
Oleh: Abdul Rohman Sukardi

