Anna Muzychuk: Tonggak Integritas Yang Tak Terbeli

| Jumat, 14 November 2025 | 11.41 WIB

Bagikan:

Bernasindonesia.com - Pada 2017 Anna Muzychuk (saat itu 27 tahun) membuat keputusan yang mengejutkan dunia olahraga. Pecatur grandmaster asal Ukraina itu adalah juara dunia catur cepat (rapid) dan kilat (blitz). Ia sedang berdiri kokoh di puncak karirnya.


Tapi pada kejuaraan berikutnya di Arab Saudi, ia memilih tidak mempertahankan gelarnya.

Ia keberatan dengan aturan panitia yang ganjil dan tak ada hubungan dengan prestasi catur. Untuk ikut bertanding, ia harus mengenakan abaya dan menaati ketentuan berbusana yang ketat. Dan ia hanya boleh keluar hotel jika didampingi laki-laki.

Ini bukan hanya soal pakaian, pikirnya. Ini soal martabat. Ia menolak mengikuti aturan yang, menurutnya, membuatnya merasa seperti “warga kelas dua.”

Ia tahu persis apa yang ia korbankan. Dalam lima hari pertandingan di negeri kaya itu ia berpotensi meraih uang lebih banyak daripada total hadiah dari puluhan turnamen sebelumnya. Tapi ia teguh.

“Aku akan mengikuti prinsipku,” katanya, meskipun “bagian yang menyedihkan adalah: tak ada yang peduli.”

Sikap diamnya justeru menyuarakan sesuatu yang besar. Kemenangan sejati memang terkadang tak datang dari memenangkan permainan, tapi dari membela nilai-nilai yang kita yakini. Bahkan ketika seluruh dunia tidak memperhatikan.

***

Di tengah dunia olahraga yang kerap dibutakan oleh angka, gelar, dan sorak kemenangan, keputusan Anna Muzychuk menjadi pengingat langka. Ia menunjukkan bahwa keberanian tidak selalu bersuara lantang, namun selalu mengguncang hati. Ia menolak bertanding bukan karena takut kalah. Tapi karena ia menolak kalah terhadap keyakinannya sendiri.

Ia tahu dunia akan melanjutkan hidup tanpa peduli pada satu orang yang absen dari satu kejuaraan. Namun ia juga tahu: sikap mogoknya adalah perlawanan — dan mengorbankan piala demi prinsip adalah bentuk keberanian yang tak terbeli dengan hadiah berapa pun.

Arab Saudi kala itu sedang berupaya memperbaiki citra melalui “sport diplomacy”, menggelar turnamen olahraga berskala internasional sebagai bentuk keterbukaan. Ironisnya: keterbukaan itu dibatasi bagi perempuan.

Pemain perempuan boleh bertanding, hanya bila mau menerima kerangka budaya yang membatasi mereka. Tidak boleh berjalan sendiri. Tidak boleh berpakaian bebas. Dan semua itu artinya: perempuan, secara simbolik, dilarang menjadi manusia utuh tanpa pendamping laki-laki.

Anna menolak syarat itu. Sikapnya menyuarakan satu hal: harga diri tidak bisa dinegosiasikan. Ini bukan hanya soal feminisme atau hak perempuan. Ini soal satu nilai universal — kesetaraan martabat antar manusia.

***

Sejarah mencatat banyak bentuk keberanian. Dari mereka yang berteriak lantang di mimbar, hingga orang-orang yang diam tapi tak menyerah. Anna termasuk yang kedua. Ia tidak membawa poster, tidak menggelar protes, tidak marah-marah.

Ia hanya tidak datang. Dan keputusannya itu lebih nyaring daripada ribuan pidato.

Sebagian orang mungkin berkata, “Ah, itu cuma soal pakaian.” Namun bagi banyak perempuan, aturan berbusana sering menjadi pintu masuk bagi pengekangan yang lebih dalam: pembatasan gerak, kebebasan, dan otonomi atas tubuh sendiri.

Bagi Anna, menyerah pada satu simbol kecil berarti mengalah pada seluruh sistem yang menopangnya.

Hari ini, banyak orang—termasuk di luar dunia olahraga—berdiri di persimpangan yang sama: memilih antara kenyamanan dan prinsip, antara diam yang menguntungkan dan bersuara dengan berisiko.

Episode Anna Muzychuk mengingatkan kita bahwa kadang kemenangan terbesar adalah saat kita rela kehilangan semuanya, kecuali integritas diri kita.***

Oleh: Hamid Basyaib

Bagikan:
KOMENTAR
TERKINI